Selepas azan isya, kami mengadakan acara burdahan dan yasinan guna mendoakan salah satu guru yang ditimpa musibah, yakni difitnah oleh orang yang tidak menyukainya. Kejadian itu sudah lewat dari segi aktualnya, tapi menjatuhkan vonis layak menerima sanksi atau tidak masih bersifat potensial. Makanya kami berdoa agar beliau senantiasa dalam lindungan-Nya dari segala bentuk bahaya dan fitnah.
Setelah acara itu, saya diam merenung. Kemudian ada satu pertanyaan yang muncul di pikiran saya “kenapa kita berdoa pada sesuatu yang mungkin? Sedangkan kemungkinan itu bisa saja terjadi salah satunya tanpa adanya doa. Bahkan kita meminta doa juga untuk mengangkat salah satu kemungkinan. Lalu untuk apa berdoa jika salah satu kemungkinan, mungkin untuk terangkat tanpa doa juga?”. Pertanyaan ini muncul di kepala saya, sampai saya harus menahan untuk berkomunikasi kepada hadirin yang ada waktu itu untuk memikirkan jawabannya, kecuali saya rasa benar-benar harus mengeluarkan dua atau tiga patahan kata.
Sebelum itu, saya ingin memperkenalkan dua istilah dalam dunia filsafat, yakni bil quwwah (potensi) dan bil fi’li (aktual). Untuk memahami maksud dari istilah ini, anda bisa membayangkan diri anda itu berstatus jomblo. Di tengah-tengah anda berstatus jomblo, di saat itu juga anda punya potensi untuk menikah. Tapi, potensi itu tidak terjadi saat itu juga. Dengan kata lain, status “menikah” itu masih bersifat mungkin terjadi, tapi tidak terjadi saat itu juga. Dalam kasus ini, keadaan menikah pada diri anda itu dinamakan bil quwwah (potensi), karena tidak terjadi tapi mungkin terjadi. Bedanya, jika anda menikah saat itu juga, maka status “menikah” itu menjadi bil fi’il (aktual) namanya. Sebab, menikah itu tidak menjadi potensi lagi, tapi sudah terjadi di alam nyata. Maka dari itu, dia disebut aktual. Jadi, bukan berarti seorang jomblo itu tidak memiliki kemungkinan untuk menikah. Dia bisa menikah, tapi tidak menikah saat itu juga.
Nah, sekarang dari doa itu kita bisa tarik, bahwa kita memang berdoa pada hal-hal yang mungkin. Dengan kata lain, di sana ada lebih dari satu kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dengan doa, kita memilih kemungkinan yang terbaik di sana. Tapi pertanyaan tadi, ada yang memberi kesan bahwa kalau berdoa dan tidak berdoa itu sama-sama mengangkat salah satu kemungkinan yang ada di sana. Sebab, kita hidup tidak akan lepas dari kemungkinan. Toh, bukannya kita makhluk yang bersifat mungkin juga? Jelas iya, karena kita bisa saja ada, bisa saja tidak.
Ya, saya sepakat bahwa berdoa atau tidak berdoa, sama-sama mengangkat salah satu kemungkinan. Tapi, bedanya kalau tidak berdoa tidak menguatkan salah satu kemungkinan untuk terjadi, sedangkan doa menguatkan salah satu kemungkinan dan tentunya kita memilih kemungkinan yang baik. Kalau kita berdoa, maka hal yang terbaik lebih kuat kemungkinannya untuk terjadi. Sederhananya, jika kita tidak ngapa-ngapain, maka kemungkinan itu tidak terngapa-ngapain. Sedangkan kalau kita ngapa-ngapain, maka kemungkinan itu juga terngapa-ngapain.
Hal tersebut, saya belajar hal baru, bahwa kita tidak lepas dari kemungkinan agar kita mengerti apa itu berharap dan apa itu usaha. Kita berharap tentu untuk sesuatu yang bersifat mungkin, bisa sesuai harapan, bisa juga tidak. Demikian juga berusaha, hasilnya masih bisa iya, bisa juga tidak. Dan saya juga belajar bahwa kita tidak bisa menjamin adanya salah satu kemungkinan itu yang terangkat, kita hanya bisa menguatkan salah satu kemungkinan itu saja. Andai kita bisa menjamin kemungkinan itu, tentu saja kita tidak akan pernah perasakan pengharapan dan melantunkan doa-doa itu. Dengan kata lain, untuk memutuskan hasil dari kemungkinan itu, memang bukan ranah kita. Ada sesuatu yang jauh lebih hebat dari manusia yang bisa menjamin salah satu kemungkinan itu.
Selain itu, kita memiliki banyak potensi yang bersifat mungkin. Kita memiliki potensi menjadi ilmuwan, kita memiliki potensi menjadi doktor, kita memiliki potensi menjadi ahli musik, kita memiliki potensi bisa menggambar, kita memiliki potensi bisa menguasai banyak bahasa, dan lain-lain. Sekali lagi, kita berbicara dalam lingkaran potensi. Itu semua skill yang ada dalam diri kita tapi masih dalam keadaan terkunci. Itu bisa saja terjadi pada diri kita. Saat itu terjadi, maka namanya sudah menjadi aktual. Skill yang terkunci tadi menjadi terbuka. Kita bisa gunakan kapan saja.
Kita perlu menggarisbawahi bahwa hal pertama yang terjadi pada sesuatu sebelum menjadi aktual, adalah potensi. Dengan kata lain, potensi itu merupakan langkah pertama menuju aktual. Sampai atau tidak sampai itu urusan lain. Kalau kita tidak memulai potensi itu, maka sudah tentu jalan menuju aktual itu tertutup rapat-rapat. Kalau kita berusaha berproses lewat jalur potensi saja belum tentu sampai aktual, bagaimana dengan yang tidak lewat jalur potensi itu kan? Bagaimana mungkin kita bisa sampai kepada suatu tempat jika tidak lewat di jalannya? Mungkin sampai atau tidaknya baru ada jika kita sudah mulai berjalan pada jalan itu.
Dari kemungkinan, saya juga belajar bahwa marah bukanlah hal yang niscaya ketika kita melihat hal-hal yang tidak kita sukai. Karena ketika kita melihat hal-hal yang tidak kita sukai, di sana kita memiliki kemungkinan untuk marah, juga kemungkinan tidak marah. Kalaupun kita marah, di sana ada dua potensi lagi, yakni melampiaskan atau tidak. Jadi, mengamuk dan memukul membabi-buta bukanlah keniscayaan dari marah. Di sana, kita memiliki pilihan untuk menutup rapat-rapat jalan untuk sampai menuju aktualisasi pelampiasan amarah itu, dengan cara tidak melanjutkan proses potensialisasi itu. Dengan bahasa yang lebih sederhana, menahan diri saat marah itu, menguatkan kemungkinan tidak melampiaskan amarah itu. Sebagaimana menata hati dan merawat hati, menguatkan kemungkinan agar kita tidak marah saat menyaksikan hal-hal yang kita tidak suka. Melihat sesuatu yang kita tidak suka adalah satu hal, marah juga satu hal, dan melampiaskan amarah itu juga hal lain. Kita bisa memilih jalan atau tidak di atas potensi itu menuju aktualisasi.
Wallahu a’lam