Saya sangat bersyukur kepada Tuhan, karena memberikan saya kemampuan “pendengaran” yang sangat baik sampai saya memiliki satu skill yang tidak banyak dimiliki orang: mampu mendengarkan rekaman tanpa gambar. Saya juga sangat bersyukur punya banyak teman yang dengan baik hati merekam pelajaran di kuliah dan pengajian yang tidak sempat saya hadiri dan membuat grup Telegram yang berisi khusus rekaman. Beberapa guru di Al-Azhar juga ternyata lebih suka banyak penjelasan tanpa papan tulis. Bagi saya, ini cukup menguntungkan.
Namun, saya selalu bertanya-tanya, sejak kapan kemampuan ini terasah? Jawabannya saya dapatkan di usia sekarang, yaitu sejak saya kecil dan di sana saya dekat dengan ayah saya. Dulu itu, ayah saya kalau mau tidur, pasti memutar rekaman ceramah, baik dari majelis yang suka ayah saya hadiri (Soalnya, ayah saya banyak mulazamah dengan ulama) maupun tidak. Setiap ayah saya memutar rekamannya, saya pasti mendengarnya dan secara tidak sengaja, saya paham apa yang diputar oleh ayah saya itu. Selain itu, setiap pulang kampung, biasanya juga di mobil itu putar rekaman. Kalau sudah agak jenuh, beralih ke lagu atau radio. Tapi, yang ada adalah kebanyakan rekaman plus ceramah-ceramah yang di-download dari YouTube lalu di-convert menjadi file suara.
Sejak SMA juga, saya meneruskan kebiasaan ayah saya itu, yaitu dengar rekaman tanpa ada gambar apapun. Di sini, saya terbiasa visualisasi audio. Jadi, walaupun saya itu jadikan sebagai pengantar tidur, saya paham. Bahkan pernah karena saya mendengar itu sampai ketiduran, sampai bertemu dengan yang menyampaikan suara itu. Kadang juga, ada senior yang memutar rekaman di pagi hari. Di waktu banyaknya orang masih mengumpulkan nyawa, saya bisa paham apa yang dijelaskan dalam rekaman itu. Tapi, minusnya apa yang saya dengar dan saya pahami itu tidak akan berlangsung lama. Solusinya adalah mengulangi apa yang saya dengarkan itu dengan cara apapun. Tidak harus seperti cara menyebut mantra, tapi bisa dengan diskusi atau memberitahu orang lain.
Memang kemampuan ini terbilang sangat menguntungkan. Tapi, ini juga memiliki resiko tersendiri. Misalnya saja, kalau ada di keramaian itu, bisa sakit kepala. Kenapa? Karena ada banyak suara di sana dan otak akan bingung ingin memproses informasi yang mana. Juga, kalau sedang bicara dan tiba-tiba ada yang bersuara, itu bisa membuat konsentrasi saya pribadi pecah. Sebab, saking besarnya porsi pendengaran itu yang diberikan dibanding bicara. Jadi, otak yang awalnya memberikan porsi ke mulut untuk berbicara, otomatis switch ketika ada pendengaran yang masuk. Dan kamampuan ini kalau tertanam di alam bawah sadar, kita tidak punya pilihan lain selain menerima segala bentuk kelebihan dan kekurangannya.
Efeknya, bagi saya itu sangat signifikan. Saya tidak bisa belajar kalau belajar bersama. Karena ketika ada yang menjelaskan lalu ada suara orang dari arah yang lain, itu membuat konsentrasi saya pecah. Makanya saya kalau menjelang ujian pun tidak ikut belajar bersama, karena saya tahu kalau itu bukan cara saya (Mahasiswa Indonesia di Mesir punya kebiasaan kalau mau ujian, belajar bersama). Tapi, pengguna kemampuan ini bisa menang ketika belajar di hadapan guru atau memanfaatkan teknologi seperti gawai, laptop, dan lain-lain. Karena konsentrasinya dipusatkan kepada pendengaran.
Tapi, ada beberapa catatan penting ketika menggunakan kemampuan ini untuk mendengar rekaman, apalagi jika itu adalah rekaman pengajian.
- Mengenali siapa yang didengar dan mengetahui jenis ilmu apa yang dibahas. Karena dengan ini kita akan memiliki feel tersendiri dalam mendengarkan rekaman itu. Dan ini akan mengantar ke langkah berikutnya.
- Mengenali metode yang dipakai. Sebab, ada tipe pengajar yang sebenarnya 95% pakai papan tulis. Kalau metodenya pakai papan tulis, ini sangat tidak direkomendasikan untuk didengar. Seperti ilmu warisan (faraidh) dan matematika. Sebab, kalau si pengajar bilang “ini dapat 1/3 dari harta mauquf”. Jelas pendengar rekaman akan kewalan mencari apa yang dimaksud dengan “ini”
Bagaimana kalau pengajarnya itu pakai papan tulis tapi tidak terlalu banyak di sana? Sebenarnya ini masih bisa. Tapi tidak semua orang mampu untuk itu. Sebab, banyak orang yang porsi pendengarannya kuat, tapi kekuatan visualisasinya tidak. Artinya, dia tidak bisa mendayagunakan imajinasinya untuk mempeta-petakan materi dalam pikirannya.
Tapi ini kembali pada kedua poin di atas tadi, kita mengenal metode sekaligus cara menyampaikan guru itu. Sebab, saya pernah menemukan guru yang aslinya menggunakan papan tulis, tapi saya masih bisa membuatkan bagan sendiri. Penyampaian seperti apa yang dimaksud? Misalnya begini, ketika sang guru menuliskan “Jumlah ismiyyah terdiri dari mubtada’ dan khabar”, setelah itu, guru tersebut menyebutkan apa yang dia tulis “jadi, jumlah ismiyyah itu terdiri dari mubtada’ dan khabar”. Di sini sisi si pendengar rekaman ini bisa memahami yang disampaikan guru.
Juga harus tahu, kalau ketika guru menunjuk ke papan tulis, apakah menyebutkan kata yang ditunjuk atau menggunakan kata ini saja? Ada guru yang masuk tipe pertama, seperti Syekh Husam Ramadhan misalnya. Walaupun beliau banyak memakai papan tulis, tapi ketika saya menyimak dan memperhatikan cara beliau, nyaris tidak pernah saya temukan beliau menggunakan kata ini ketika menunjuk kata tertentu yang ditulis di sana. Misanya menunjuk kata “khabar” di papan. Kalau Syekh Husam, beliau menyebut “khabar” sambil menunjuk ke papan tulis itu. Ada juga yang hanya menyebut ini. Dan yang kedua ini sangat membuat tipikal audio ini kewalahan.
Artinya, pengguna kemampuan audio ini, harus juga pintar-pintar mengklasifikasikan apa yang dia bisa dengar dan tidak. Tapi, keuntungan pendengar audio ini, bisa belajar yang pakai video. Sebab, kalau yang suara tok saja bisa, apalagi yang ada suara dan gambarnya. Memang mulut dan telinga selalu menemukan titik tengkar, tapi tidak dengan penglihatan. Bisa dibilang, semakin kecil input-nya sebuah ilmu, semakin kurang orang yang bisa menguasainya. Makanya hadir langsung berguru itu input-nya besar dan cepat paham. Sebab, selain akal dan pancaindera yang aktif, hati juga aktif. Tapi kita tidak membahas ini, sebab yang kita bahas adalah input ilmu yang terbatas pada pendengaran saja, tidak lebih.