Di bawah naungan atap rumah yang sederhana itu, hiduplah sosok ibu yang merawat rumah sepenuh hati. Juga ada sosok ayah yang mengambil peran pemimpin, walau anak-anak itu belum lahir.
Rumah itu terletak di tempat yang tidak ada pemukiman di sekitarnya, hanya ada taman yang indah, hewan ternak, dan air bersih yang mengalir.
Tatkala mentari itu mengintip di sela-sela awan itu, sang ibu itu tiba-tiba hamil. Kandungan itu dirawat juga sebagaimana rumah itu dirawat, bahkan lebih. Ayah juga turut senang tentang hal itu.
Ketika lembaran-lembaran hari itu silih berganti, anak itu lahir. Anak itu sejak kecil banyak dibimbing oleh ayahnya, diajari banyak hal. Dia juga diajari bagaimana menjadi laki-laki yang benar.
Di usia remajanya, seorang laki-laki yang normal akan membutuhkan seorang perempuan. Ketika kebutuhan itu muncul, sang ibu itu hamil. Tidak butuh waktu yang lama anak itu lahir dan dia perempuan. Hanya butuh waktu singkat juga, perempuan itu tumbuh dengan cepat.
Mereka berempat hidup di rumah dengan tenang, tidak ada siapapun di sekitarnya. Mereka juga tidak pernah berpikir untuk menjalin komunikasi dengan orang yang ada di luar sana sampai dua anak ini bersekolah di kota.
Singkat cerita, kedua anak ini semakin lama, semakin memiliki banyak teman di sekolah dan pergaulannya. Awalnya hanya mengajak satu atau dua orang, lalu teman yang diajak ini mengajak temannya lagi datang ke rumah itu. Katanya, mereka hanya ingin bertamu.
Sebagai tuan rumah, ayah dan ibu melayani para tamu dengan baik, sesuai dengan apa yang mereka miliki. Tuan rumah juga, tidak pernah mengusir tamunya, malahan merekalah yang menawarkan tamu-tamu itu bermalam.
Tamu itu nyaman di rumah tersebut, kemudian mereka memanggil kawan-kawannya yang lain untuk menginap di rumah yang mereka nilai nikmat itu.
Datanglah tamu-tamu dengan jumlah yang banyak. Mereka memasuki rumah itu dengan berdesak-desakan. Sang ibu yang mulanya senang melayani tamu, ketulusannya dalam menerima tamu itu menurun dan perlahan memudar.
Beberapa menit kemudian, terdengarlah suara pecahan kaca yang ternyata itu merupakan tempat perhiasan sang ibu yang ada di dalam kamar pribadinya. Oh ternyata, ada tamu yang masuk ke tempat yang sifatnya privat, menyentuh barang-barang yang sangat dijaga dan dirawat oleh sang ibu.
Kemudian, terdengar lagi ada suara meja jatuh. Rupanya, di dapur ada tamu yang duduk di atas meja yang menyebabkan kaki meja itu patah. Sang ibu itu melihatnya dan ia mulai kesal. Saat ingin meneriakkan keluar, ada yang memutar musik dengan suara yang keras. Seruan untuk meninggalkan rumah itu tidak terdengar.
Tamu-tamu itu semakin tidak bisa dikendalikan. Ada yang masuk ke dapur mengeluarkan isi kulkas dan melakukan eksperimen tanpa izin, masuk ke kamar dan menggunakan barang-barang berharga tanpa izin, dan semua tempat-tempat yang seharusnya hanya ada tuan rumah saja itu sudah dimasuki oleh banyak tamu.
Rumah yang mulanya berpostur sederhana itu kehilangan kederhanaannya. Dia seperti seorang prajurit yang kehilangan wibawanya; dirampas oleh musuh-musuhnya. Rumah yang dibangun dengan sepenuh hati itu juga yang menyobek-nyobek hati; seperti dikhianati oleh sang kekasih.
Melihat semua itu, ibu itu sangat marah. Membuat langit itu tiba-tiba menjadi gelap seolah bencana besar akan datang. Ibu itu teriak dengan suara yang amat besar “Kalian semua, keluar!”. Mereka semua sempat diam sebentar, tapi mereka tetap melanjutkan pestanya yang melewati batas.
Tidak ada pilihan lain, sang ibu sepertinya memiliki “kartu as” yang bisa memusnahkan semuanya. Ternyata, riaknya yang amat besar, mampu memusnahkan semua tamu-tamu itu; seperti kaca yang percah berkeping-keping.
Resiko dari teriakan itu bisa membuat sang ibu pingsan dalam waktu yang sangat lama. Ayah datang kepada ibu seperti tak terjadi apa-apa lalu mengangkatnya ke kamar. Setelah ibu tenang di sana, rumah itu beregenerasi dengan sendirinya, seolah tidak ada pesta atau kerusakan besar yang sudah terjadi. Barang pecah, terbakar, meledak, dan rusak, semuanya kembali dengan utuh dan ke tempatnya yang semula.