ٱلۡخَبِيثَٰتُ لِلۡخَبِيثِينَ وَٱلۡخَبِيثُونَ لِلۡخَبِيثَٰتِۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِۚ أُوْلَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَۖ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (Q.S. Al-Nur: 26)
Ayat yang terbilang populer di kalangan para sobat hijrah ini seakan menjadi patokan dalam masa pencarian jati diri dan jodoh.
Awalnya kita tahu asbab al-nuzûl ayat ini membahas tentang hadits al-ifki, ketika tersebarnya hoax bahwa Sayyidah Aisyah dituduh berzina dengan Shafwan bin Muaththal. Lalu Allah membantahnya karena orang sebaik Aisyah tidak mungkin mendapatkan hati Rasulullah Saw. jika ia berakhlak buruk.
Kemudian di zaman milenial sekarang, pemahaman mereka berubah seiring dengan maraknya kajian-kajian hijrah, apalagi jika berkenaan masalah jodoh.
Energi yang dihasilkan dari pemahaman seperti ini pun sangat positif, membuatnya semakin berusaha memantaskan diri karena berharap mendapat jodoh yg baik juga. Sebaliknya jika ia berkarakter buruk, jodohnya pun tak beda jauh dari sifatnya.
Anggapan mereka tentang jodoh cerminan diri itu tidak mutlak salah. Namun ada yang keliru dalam memahami maksud ayat di atas. Seakan-akan memiliki makna pendiktean kepada Allah bahwa harus mendatangkan jodoh sesuai yang ia mau. Lebih tepatnya “pemaksaan”.
Bisa saja jika ia baik maka jodohnya baik, tdk menutup kemungkinan pula jika lelakinya baik maka perempuan nya buruk seperti istri Nabi Luth dan istri Nabi Nuh, atau bisa saja lelakinya yg jahat perempuannya baik, seperti Asiyah istri Fir’aun. Bisa jadi orang dengan stigma seperti diatas akan membuatnya bersikap seolah menyalahkan Allah ketika jodohnya tidak sesuai harapannya.
Kemudian, di lanjutan hadis “innama al-a’mâlu…” tertera siapa yang berhijrah karena dunia dan wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada yg ia tuju. Ini mengindikasikan akan pentingnya memperbaiki niat berhijrah (merubah sikap) hanya untuk meraih ridho Allah, bukan untuk dapat jodoh. Sekalipun ia dapatkan jodoh yg baik, tapi apa gunanya jika Allah tak ridho kepadanya dikarenakan niat yg sangat keliru tersebut.
Sebagai kesimpulan, alangkah baiknya sedari awal kita merubah niat bahwa yang kita tuju adalah ridho-Nya, dengan ungkapan itulah sebenarnya yang menjadikan diri kita menjadi lebih baik. Kemudian menyadari bahwa jodoh itu mutlak pemberian Tuhan, baik dan buruknya itu tidak masalah, kita hanya disuruh menjadi orang baik, bukan mengharapkan jodoh yang baik. Kalau kita sudah baik, maka jika dapatkan jodoh yang baik alhamdulillah, jika jodohnya tidak baik tandanya Allah ingin menguji kesabaran kita dengan berusaha memperbaiki istri yang tidak baik itu. Jika ia tak kunjung membaik, maka sudah pasti dia bukan jodoh terbaik. Hanya Allah yang lebih tau untuk kita mana yang lebih baik.
__________
Ta’liq (Muhammad Said Anwar):
Surah Al-Nur ayat 26 sendiri tidak pernah mengatakan “semua” orang baik berpasangan dengan orang baik. Jadi, ketika ada orang yang berpasangan itu tidak sesuai dengan cerminan, maka ayat Al-Qur’an tidak salah. Sebab, dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada janji bahwa jodoh itu sesuai cerminan diri, tapi kalau ada yang seperti itu, ya ada dan ada bukan berarti semua pasti seperti itu bentuknya.
Dalam perspektif ilmu logika, ada namanya indefinite propositon (qadhiyyah mahmûlah). Ketika dikatakan “Anak sekolah itu pintar”, maka bukan berarti anak sekolah itu otomatis semua pintar. Buktinya ada juga yang tidak demikian. Inilah yang dimaksud oleh para logikawan dengan istilah taqarrub juz’iy (lebih dekat dengan partikular). Sama dengan Al-Qur’an, ketika mengatakan “laki-laki yang baik maka berpasangan dengan perempuan yang baik”, maka tidak salah jika ada laki-laki yang tidak baik berpasangan dengan perempuan yang baik, karena Al-Qur’an menggunakan qadhiyyah mahmûlah dan tidak memastikan semua individu yang dihukumi itu kena.
Jadi, ini bisa membantah bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an dari segi ini.
Wallahu a’lam


