Saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman. Persoalan mendasar yang kami sorot adalah sosok kutu buku yang tak lihai dalam memecahkan masalah di bidangnya. Kenapa ini dipersoalkan? Bukankah cukup ironis jika ada pembaca fisika tapi tak pandai memecahkan suatu masalah?
Dalam salah satu kesempatan, saya pernah menyorot masalah kuantitas dan kualitas bacaan dalam salah satu tulisan. Poin krusial pada tulisan itu tidak lain adalah daya intelektualitas manusia yang lebih penting dibanding kuantitas bacaan. Biarpun ada ratusan ribu buku dibaca tapi jika buku itu hanya mengawang, tidak ada gunanya.
Dua paragraf di atas memiliki misi untuk memberikan pembaca stimulus bahwa ada sesuatu yang lebih substansial alias core of the core di balik membaca itu, yakni “nalar ilmu”, dibanding membangga-banggakan “nalar wawasan”. Dengan kata lain, setelah manusia belajar, seharusnya mereka memiliki skill dalam memecahkan masalah, alih-alih hanya tahu saja tanpa punya praktik sama sekali. Kita bisa juga menyebutnya dengan nalar malakah dan nalar tsaqafi.
Sebelum saya menguliti dua istilah itu lebih dalam–juga sebagai substansi pembahasan ini–saya akan membagi tulisan ini menjadi beberapa segmen.
Belajar Ilmu, Ceramah, dan Kawanannya
Bagian ini kita akan berbicara mengenai realitas sosial masyarakat. Lebih tepatnya, bagian ini akan bersinggungan dengan ketidaktahuan masyarakat dalam memilih media dalam belajar.
Dalam dunia masyarakat, ceramah sebagai media pengetahuan itu lebih banyak diobral dibanding belajar serius mendalami suatu bidang. Karena ceramah berisi pengetahuan umum, nasihat, petuah, dan kisah-kisah unik lagi relevan bagi pendengar. Selain itu, ceramah lebih sederhana dibanding belajar ilmu agama.
Hanya saja, bagi masyarakat apapun yang mengandung unsur vokal, maka itu disebut dengan belajar. Tidak peduli itu ceramah, khutbah, maupun belajar. Selama yang bertanggungjawab membawakan materi itu bicara depan umum, maka ini disebut belajar. Konsekuensinya, apapun yang disampaikan, pasti dianggap sebagai resep yang berlaku untuk semua masalah.
Semisal, saya angkat masalah mengambil pemikiran. Umumnya, masyarakat diajarkan bahwa jika ada pemikiran, maka yang perlu dilihat adalah sosok yang membawanya, bukan isi pemikiran itu sendiri. Jadi, ketika sewaktu-waktu nanti masyarakat menemukan sesuatu yang disebut pemikiran itu, mereka tidak menimbang kebenaran pemikiran itu melalui timbangan rasional, tapi tendensi kepada identitas tokoh.
Untuk tingkatan masyarakat, hal seperti itu sah-sah saja. Dari segi normatif, sudah sepantasnya kasta masyarakat diberikan pengetahuan dengan porsi itu, walaupun rapuh. Karena masyarakat hanya butuh sesuatu yang bisa mereka jadikan pegangan untuk situasi normal, bukan mendebat atau memverifikasi kebenaran. Toh, mereka belum memiliki independensi dalam berpikir. Adapun apakah berdakwah di tengah masyarakat dengan metode sofisme apakah bisa dibenarkan atau tidak, kita tidak akan menyentuhnya dalam tulisan singkat ini.
Hanya saja, kalau kita naik ke tingkatan yang lebih serius; apakah yang disampaikan di dalam ceramah itu ilmu? Jawabannya, tidak. Itu disebut dengan pengetahuan. Kita akan menyentuh seputar konsep dan implikasinya pada segmen mendatang.
Apa yang membedakan ceramah dan belajar intens? Ceramah itu memberikan wawasan atau pengetahuan umum. Kalau dalam konteks agama, maka yang diberikan itu hanya pengetahuan umum seputar agama, bukan ilmu agama. Sedangkan jika seseorang mau membentuk kepakaran, dia seharusnya belajar agama secara intens kepada ahli dengan metode yang teruji, alih-alih menyibukkan diri mendengar pidato, ceramah, atau nasihat umum.
Ilmu, Pengetahuan, dan Malakah
Sebelum kita menjelaskan mana konsep ilmu, pengetahuan, dan malakah, kita mulai dulu dari membedah konsep ilmu secara umum. Karena ini asal-muasal jenis pengetahuan lainnya.
Para logikawan mendefinisikan ilmu dengan idrâk muthlaq yang berarti mengetahui sesuatu secara mutlak. Dengan narasi yang lebih sederhana, apapun yang tergambar di akal kita, entah itu pintu, warna cokelat, baju, celana, dan lain-lain, ini semuanya disebut dengan ilmu; lebih tepatnya gambaran kita tentang objek-objek tadi itu disebut dengan ilmu.
Lebih detailnya, logikawan mendefinisikan terma idrâk (mengetahui) dengan hushûl shûrah al-syai’ fi al-dzihn (terhasilnya frame sesuatu di dalam akal). Jadi, gambaran apapun yang terlintas di akal, semuanya disebut dengan ilmu.
Terlepas dari puluhan definisi lain tentang ilmu, definisi ini kita gunakan karena kaitannya sangat erat dengan sorotan utama kita.
Kemudian, ilmu ini bisa bermakna tiga; 1) Idrâk. 2) Masâ’il. 3) Malakah. Idrâk itu lintasan pikiran secara umum. Ini yang sudah disinggung di atas.
Masâ’il itu berarti kumpulan masalah atau pembahasan. Sebagai contoh, ketika saya mengatakan “Ilmu mantik”, maka terma “ilmu” yang dikandung itu menunjukkan makna “kumpulan pembahasan”. Karena ilmu mantik sendiri terdiri dari berbagai pembahasan. Di dalamnya ada pembahasan al-kulliyyât al-khamsah, definisi, proposisi, dan silogisme. Ketika saya mengatakan ilmu mantik, maka terma “ilmu” itu diberlakukan kepada paket pembahasan ilmu mantik, atau lebih luasnya; ilmu tertentu. Terma itu tidak bisa digunakan untuk makna idrâk karena sudah dibatasi oleh kata “mantik”. Tidak mungkin kita mengamini makna “lintasan pikiran” jika kita berlakukan kepada disiplin ilmu tertentu. Untuk apa ada disiplin ilmu jika pada akhirnya bermuara pada lintasan pikiran secara bebas?
Sedangkan malakah itu bermakna al-idrâk al-râsikh atau pengetahuan yang mendarah daging dalam diri manusia. Lebih sederhananya, pengetahuan itu sudah menyatu metodenya dengan cara berpikir manusia. Sebagai contoh, ketika ada orang yang sudah lama mendalami ilmu kalam, maka apapun yang dia lihat, pasti menggunakan sudut pandang ilmu kalam. Kenapa? Karena cara berpikirnya sudah kental dengan metode ilmu kalam dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, dia sudah menguasai cara ilmu kalam dalam memecahkan masalah, sehingga mudah saja kalau dia mau menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kendati demikian, kita akan menarik terma ilmu ini ke dalam dunia kurikulum belajar. Sehingga, kita menyatakan ilmu yang kita maksud nantinya adalah malakah karena dia membentuk pola pikir, sedangkan pengetahuan adalah informasi umum yang tidak membentuk pola pikir.
Ketika Anda belajar ilmu mantik secara berjenjang, mulai dari tahap awal sampai akhir, maka di sini Anda disebut mempelajari ilmu. Sebab, –sekali lagi– ilmu itu membentuk pola pikir. Maka ketika Anda belajar ilmu mantik secara bertahap, maka pola pikir Anda terbentuk. Lebih tepatnya, akal Anda akan lebih terbiasa menggunakan ilmu mantik. Selain itu, di awal Anda akan diajarkan struktur pembahasan, konsep umum, sampai Anda benar-benar paham bagaimana alur dan karakteristik ilmu ini. Tapi, ini juga bergantung kepada guru yang mengajari, apakah memiliki fundamental mengajar atau tidak.
Beda halnya jika Anda hanya mengoleksi nama-nama logikawan, memiliki wawasan seputar sejarah ilmu mantik, atau hal-hal aksidental lainnya. Ini disebut pengetahuan, bukan ilmu. Karena Anda hanya memiliki informasi, bukan sesuatu yang membentuk pola pikir.
Untuk lebih memudahkan, saya akan menggunakan analogi kelola data. Anggaplah ada beragam data atau informasi dan ada sesuatu yang mengelola data itu, sebut saja mesin. Data ini hanyalah pengisi mesin itu. Mesin itu akan lebih maksimal jika di dalamnya ada data yang dikelola. Bagaimana jika di sana tidak ada data? Mesin itu tetap bisa bekerja tanpa data. Hanya saja kurang maksimal.
Kalau kita melihat lebih seksama, ada atau tidaknya data itu, tidak mempengaruhi mesin. Masalahnya nanti ketika ada data tanpa ada mesin. Karena data hanyalah data yang tidak terarah tanpa mesin.
Begitu juga pikiran manusia. Jika kita tidak memiliki pola atau metode berpikir, sebanyak apapun bacaan atau informasi yang kita punya, maka kita tidak akan pernah bisa mengelola semua itu dengan baik. Memang benar, semuanya ada bersemayam dalam ingatan. Akan tetapi, informasi-informasi itu hanya hinggap tanpa makna, hanya kuantitas tanpa nilai. Beda halnya jika kita memiliki metode berpikir, maka sekecil apapun informasi yang kita punya, semuanya akan dikelola dengan maksimal oleh metode berpikir kita.
Buku Dirâsi dan Muthâla’ah
Memberikan segmen khusus untuk buku, merupakan sesuatu yang lazim untuk dilewati, mengingat buku adalah perantara atau media masuknya pengetahuan ke dalam diri manusia.
Buku bisa dibahas dari berbagai segi dan akan menjadi sangat kompleks kalau kita datangkan semuanya. Kali ini, kita hanya akan membatasi pada satu hal; buku dari segi karakter pengetahuan yang dikandungnya. Itu terbagi menjadi dua; 1) Buku Dirâsi. 2) Buku Muthâla’ah.
Buku dirâsi memiliki satu misi; membentuk malakah dalam diri pelajar. Namun, karena ini sifatnya lebih substansial, bahkan lebih urgen, tentu saja ini melahirkan sebuah konsekuensi; butuh banyak pengulangan. Pengulangan itu tidak hanya bermakna membaca ulang. Tidak. Mengulang di sini bisa bermakna improvisasi, implementasi, atau bahkan mengajarkan kepada orang lain. Karena ketika kita mengajarkan kepada orang lain, maka secara otomatis kita mengulangi apa yang kita pahami dengan tumpahan redaksi yang berbeda.
Dengan pembentukan seperti itu, kita semakin merasa familiar dengan cara kerja ilmu yang bersangkutan. Sehingga, akal kita akan memiliki koleksi trik baru dalam memecahkan masalah kehidupan.
Contoh buku dalam kategori pertama ini seperti Al-Ajurumiyyah dalam bidang ilmu gramatika bahasa Arab (nahwu). Buku ini menjelaskan fosil ilmu nahwu secara lengkap. Artinya, ketika kita sudah mempelajari buku itu, maka kita sudah memiliki gambaran umum tentang ilmu nahwu yang sedang didalami. Walaupun tidak sampai di delik-deliknya, setidaknya bisa menangkap bagaimana karakteristik ilmu yang bersangkutan.
Adapun buku muthâla’ah itu memiliki misi memperkokoh ilmu yang sudah kita miliki sebelumnya, memperkaya sudut pandang baru dalam ilmu yang bersangkutan, dan sebagian juga membahas satu bagian detail secara mendalam dari satu keilmuan tertentu. Tentu menyikapi buku jenis ini sudah berbeda dari yang sebelumnya. Jika buku sebelumnya harus ditamatkan dan diulang-ulang, maka bagian ini tidak.
Perbedaan konsekuensi ini tentu memiliki alasan logis. Semuanya dimulai dari misinya masing-masing. Jika buku dirâsi ingin membentuk keilmuan atau malakah berpikir dalam bidang ilmu tertentu, maka mengulang-ulang buku di klasifikasi ini menjadi sangat logis. Bagaimana caranya memiliki malakah kalau pengalaman dalam mengamalkan ilmu kurang? Mustahil ada malakah jika tidak ada pengalaman sebelumnya, kecuali jika seseorang diberikan ilmu ladunni dari Allah langsung. Adapun kenapa buku muthâla’ah tidak butuh diulang-ulang, karena tugasnya hanya memperkokoh wawasan. Kita hanya membaca bagian yang kita butuhkan. Ini juga menguatkan salah satu tulisan sebelumnya yang membahas tentang tidak semua buku harus ditamatkan.
Contoh dari buku muthâla’ah ini adalah Al-Wujȗd Al-Dzihn baina Al-Mutakallimîn wa Al-Falâsifah (Esksistensi Rasional dalam Perspektif Teolog dan Filusuf) karya Prof. Dr. Nazhir ‘Iyadh, Kepala Lembaga Riset Al-Azhar. Buku yang memiliki 142 halaman ini hanya berkonsentrasi membahas apakah eksistensi rasional sah dikatakan ada atau tidak? Tidak sedang membahas ilmu al-‘umȗr al-‘ammah secara garis besar dan utuh. Kalaupun kita menyelesaikan buku semacam ini, maka kita mendapatkan wawasan baru dan menguatkan pondasi yang kita miliki di buku dirâsi.
Analogi dekat untuk kedua jenis buku ini, jika buku dirâsi adalah fosil, maka buku muthâla’ah adalah daging, nutrisi, protein, dan hal-hal lain yang meliputi tulang. Karena buku muthâla’ah adalah “tambahan” maka hal ini tidak akan ada jika tidak ada sesuatu yang “ditambah”. Dengan analogi yang sama, tidak mungkin ada daging jika tidak ada tulang. Kalaupun daging ada tanpa ada tulang, maka daging itu tinggal sebagai sesuatu yang rapuh.
Inilah sebab kenapa ulama di Al-Azhar sangat menekankan untuk memulai belajar dari buku dirâsi. Karena kita tidak mungkin memahami buku muthâla’ah tanpa memahami buku dirâsi terlebih dahulu. Kenapa? Karena buku muthâla’ah dikunci dengan istilah tertentu. Dan istilah ini hanya bisa didapatkan jika kita belajar dari buku dirâsi. Bagaimana caranya masuk ke buku muthâla’ah langsung jika buku muthâla’ah sendiri butuh dengan buku dirâsi?
“Bukannya sama-sama deretan huruf yang dibaca?” Dunia baca-membaca itu tidak hanya bicara tentang tumpukan huruf yang abai terhadap makna. Sama sekali tidak. Yang kita inginkan dari bacaan adalah isi, alias makna. Setiap kata musta’mal dalam buku itu memiliki makna. Tapi, setiap makna memiliki hierarki yang terstruktur. Kita tidak bisa masuk ke hierarki tertinggi‒dalam hal ini adalah kosakata langka dan bermuatan makna kompleks‒begitu saja tanpa melewati hierarki dasar. Jadi, sekadar tahu bahasa, bisa berbicara, atau bisa membaca kosakata dasar, tidak pernah menjamin seseorang bisa memahami buku-buku besar.
Hal tersebut sama masuk akalnya dengan seseorang yang tidak pernah belajar ilmu kedokteran, tiba-tiba ingin mempelajari buku spesialis mata. Walaupun berbahasa Indonesia, bukan berarti pembaca bisa langsung memahami istilah-istilah kedokteran yang ada di buku spesialis itu. Tentu, hal ini juga berlaku di ilmu lain; meniscayakan hierarki makna yang semestinya dilewati lewat belajar berjenjang secara khusus.
Masalah
Ada sebuah persoalan yang timbul di permukaan. Itu ketika seseorang mengira buku dirâsi sebagai buku muthâla’ah, begitu juga sebaliknya. Akhirnya, semua permasalahan mau dibabat habis dengan bacaan yang tidak membentuk malakah berpikir. Muaranya, alih-alih menyelesaikan masalah, malahan memeperkeruh masalah. Hal seperti ini disebut oleh Syekh Ahmad Nabawi dengan istilah al-faudha al-‘ilmiyyah (kerancuan pengetahuan).
Sebagai contoh, ada orang yang sama sekali belum khatam ilmu fikih dasar, seperti matan Al-Ghâyah wa Al-Taqrîb, malahan mau membuka kitab fikih kelas berat seperti Hasyiyah Al-Qalyȗbi wa ‘Umairah, Majmȗ’ fi Sharh Al-Muhadzab, I’ânah Al-Thâlibîn, dan lain-lain. Padahal, di dalam sana ada perbedaan pendapat yang belum cocok masuk dalam atmosfer pemula.
Saya ingin mengorek lebih dalam. Memangnya kenapa kalau pemula langsung masuk ke dunia perselisihan pendapat? Dengan pertanyaan lebih spesifik, apakah ada masalah atau mudarat? Jawabannya, jelas ada, bahkan besar mudaratnya. Kenapa? Perbedaan pendapat itu biasanya muncul dalam masalah tertentu yang di mana dia merupakan turunan dari masalah umum yang dipelajari sejak awal. Kalau kita tidak memiliki pemetaan sejak awal, maka diskurus perbedaan pendapat itu hanya tinggal mengawang, tidak jelas ke mana arahnya. Padahal, kalau berbicara di ruang ilmiah, seharusnya struktur itu jelas. Ini pertama. Selanjutnya, ketika orang mengira semua pengetahuan alias maklumat itu membentuk malakah, maka ini sangat dekat dengan jurang kesesatan. Kenapa? Karena ketika dia mendapatkan buku yang menyimpang dari metode ulama yang diakui, maka yang terbentuk dalam dirinya adalah sebuah kesalahan. Bayangkan, bagaimana jika ada kesalahan yang didawamkan dalam memecahkan masalah.
Ini masih dalam ruang perbedaan pendapat di ruang furȗ’ atau cabang masalah utama. Belum lagi kalau perbedaannya lebih fundamental (ushȗl). Dalam ruang agama, perbedaan di ranah fundamental, bisa bermuara pada kekafiran‒na’udzubillah min dzalik. Kenapa hanya masalah furȗ’ saja yang kita singgung? Karena bagian inilah yang rawan disalahpahami. Karena perbedaan di ruang ini tidak melulu bicara tentang benar dan salah, tapi bisa juga dengan benar dan lebih benar.
Hal seperti ini juga yang dialami oleh orang kagetan. Belum khatam dan tidak memiliki malakah dalam ilmu akidah dan filsafat dasar, malahan membaca buku-buku “sebelah”. Pas jatuh, malahan menghujat agama. Padahal, mereka sendiri yang buta terhadap ajaran agamanya sendiri.
Nalar Ilmu dan Nalar Wawasan
Karena kita sudah melewati beberapa segmen di atas, maka kita baru bisa membedah istilah nalar ilmu dan nalar wawasan. Apa itu nalar ilmu? Singkatnya, malakah yang sudah terbentuk. Nalar inilah yang digunakan dalam memecahkan masalah yang ada. Tapi, nalar ini tidak meniscayakan pemiliknya memiliki banyak bacaan. Karena nalar seperti ini bisa terbentuk dengan bacaan yang sedikit dan penuh perhatian.
Sedangkan nalar wawasan orientasinya adalah data dan informasi. Ini hanyalah penguat dari nalar ilmu. Orang yang punya banyak bacaan, tapi tidak memiliki ketajaman berpikir, maka dia memiliki nalar wawasan. Orang yang seperti ini bisa memecahkan masalah, tapi tidak sebanyak dan tidak setangkas nalar ilmu.
Idealnya, kita memiliki nalar ilmu dan wawasan. Karena dengan kedua nalar ini, selain banyak masalah yang bisa dipecahkan, semakin banyak juga maslahat yang bisa dibangun. Memiliki nalar ilmu, ibarat melaksanakan sesuatu yang wajib. Sedangkan memiliki nalar wawasan, melaksanakan sunnah. Tentu kita mendahulukan yang wajib. Tapi, bukan berarti kita meninggalkan sunnah. Dan meninggalkan wajib dengan sesuatu yang sunnah, tentu dosa.
Wallahu a’lam