Sejak kecil, kita diajarkan bahwa kita harus menyembah Tuhan dan meyakini Dia memiliki sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan itu, dalam ajaran yang kita terima, terlalu baik bagi makhluk-Nya. Setiap nafas, detak jantung, sampai setiap sepersekian detik kejadian, merupakan rezeki-Nya. Tidak ada yang salah dengan ini. Tapi, bagian yang luput dari telinga kita adalah bagaimana jika Tuhan ternyata menyiksa hamba-Nya? Apakah saat itu juga Tuhan itu kehilangan sifat Maha Penyayang-Nya?
Terlepas dari itu semua, pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul, akan berpotensi menimbulkan keraguan bagi orang yang mendengarnya. “Kalau Tuhan Maha Pengasih, kenapa ada neraka?” Beginilah kurang lebih pertanyaan yang bisa muncul. Salah satu poin dari pertanyaan ini adalah “Sifat Tuhan yang kontradiktif” dan tidak mungkin yang kontradiksi itu terealisasi (tahaqquq) di alam nyata. Kita akan menjawab keraguan tersebut dalam beberapa bagian. Ada bagian khusus untuk menyasar klasifikasi sifat, lalu masuk ke poin kritis; selain sebagai konsekuensi dari klasifikasi sifat, ini yang akan menunjukkan bagian problematik dari pertanyaan itu.
Klasifikasi Sifat
Salah satu masalah yang sering ada dalam pertanyaan yang bermuatan syubhat seperti ini adalah rancu di bagian kerangka berpikir. Titiknya pada “terma” kontradiksi yang dialamatkan kepada sifat jâ’iz. Padahal, terma “kontradiksi” itu lebih tepat jika dialamatkan kepada sifat wajib dan mustahil. Mengapa? Saya akan menguraikan tentang ketiga sifat yang bersangkutan agar titik keniscayaan (wajh al-talâzum) klaim di atas itu jelas. Tapi sebelum itu, Anda perlu membaca salah satu tulisan tentang hukum akal agar terma wajib, mustahil, dan jâ’iz itu jelas. Karena kita akan berkonsentrasi pada klasifikasi sifat. Bukan pada ketiga istilah dasar itu.
- Sifat Wajib
Sifat wajib berarti sifat yang mustahil tidak ada dari Dzat Tuhan. Sifat ini harus ada. Karena ketika sifat ini salah satunya saja tidak ada, maka ketuhanan itu batal. Karena konsekuensi dari ketiadaan sifat ini bermuara pada kelemahan Tuhan. Sifat ini berjumlah 20 bagi teolog mutaqaddimîn dan 13 bagi ulama muta’akhirîn. Walau mereka beda pendapat, tapi esensi dari masalah sifat itu mereka sepakati. Dengan kata lain, perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan konsekuensi yang signifikan, karena perbedaan pendapat ini tergolong syakliy (format/aspek luar). Namun, di sini bukan tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat itu secara detail.
Saya ingin mengambil satu sampel saja dari sifat wajib itu dan memunculkan konsekuensinya jika saja gugur. Misal, sifat qudrah (Maha Kuasa). Jika sifat ini hilang dari sifat Tuhan, bagaimana ceritanya kita menyembah sesuatu yang memiliki kelemahan yang tidak beda dari makhluk? Atas dasar ini, sifat qudrah ini menjadi sifat wajib bagi Tuhan.
- Sifat Mustahil
Jika kita sudah memahami sifat wajib, maka kita sudah bisa memahami sifat mustahil. Karena sifat wajib adalah kebalikan dari sifat mustahil. Jika sifat wajib adalah sifat yang harus ada pada Dzat Tuhan, maka sifat mustahil adalah sifat yang tidak bisa ada ada Dzat Tuhan. Jumlahnya sama dengan sifat wajib.
Sebagai contoh, sifat qudrah (Maha Kuasa) adalah sifat wajib. Maka kebalikannya; ‘ajz (lemah) merupakan sifat mustahil bagi Tuhan. Dua bagian ini adalah hal yang sederhana dipahami jika kita sudah memahami pembahasan hukum akal.
- Sifat Jaiz
Jika dua kelompok sifat sebelumnya mengandung dua luzumiyyah (keniscayaan; baik niscaya ada maupun tidak), maka sifat ini tidak. Sifat ini sering disebut oleh para teolog dengan in syâ’a fa’ala wa in syâ’a taraka (Jika Tuhan ingin, maka Dia melakukannya dan jika enggan, Dia meninggalkannya). Untuk mempermudah, kita sebut saja sifat ini dengan terma absolut.
Namun, perlu diingat bahwa sifat ini ada di bawah cakupan sifat qudrah, sebagaimana yang dicatat oleh Syekh Mahmud Abu Daqiqah dalam Qaul Sadîd fi ‘Ilm Al-Tauhîd. Tuhan Maha Kuasa ingin melakukan apa saja, termasuk jika ingin merahmati atau menyiksa.
Sampai di sini, kita bisa menarik poin bahwa sifat jâ’iz ini tidak mengandung keniscayaan akan eksistensi Tuhan. Kenapa? Jika bagian berlawanannya berfungsi, maka bagian satunya tidak berfungsi, tanpa mennafikan pelaku di balik sifat itu. Saya sederhanakan dengan sebuah imajiner. Anggaplah Tuhan menyiksa seseoraang di neraka. Pertanyaannya, apakah saat itu Tuhan sedang merahmati? Jawabannya, tidak. Apakah Tuhan ada? Ya, Tuhan ada. Buktinya, Dia menyiksa.
Jadi, perlu dicatat dengan baik bahwa sifat Maha Pengasih dan Penyiksa itu ada di dalam cakupan sifat jâ’iz. Begitu juga sifat Pemberi Rezeki, Pengasih, dan lain-lain berada di bawah sifat jâ’iz yang notabenenyya juga di bagian bawah sifat qudrah.
Dari tiga poin di atas, apakah kita bisa menyatakan sifat Tuhan itu terbatas? Secara singkat, jawabannya tidak. Karena jika sifat Tuhan terbatas, maka entitas Tuhan memiliki keterbatasan. Tapi, kenapa ulama hanya menyatakan sifat Tuhan hanya 20 dan sifat jâ’iz hanya satu? Sederhananya, 21 sifat itu hanyalah ummahât (induk) atau kategori umum yang mencakup parsial yang tidak terbatas. Jadi, pada hakikatnya, sifat Tuhan tidak terbatas. Hal tersebut merupakan kesimpulan ulama setelah membaca Al-Qur’an dan hadis.
Catatan tambahan, sebagian ulama tidak menyebut sifat jâ’iz ini sebagai salah satu bagian dari kelompok sifat, melainkan bagian dari sifat qudrah. Ulama seperti Syekh Mahmud Abu Daqiqah menyebut bahwa sifat yang barusan kita singgung ini adalah sifat kamâl (kesempurnaan).
Pada dua kelompok sifat pertama (wajib dan mustahil), kita bisa menyatakan sifat Tuhan kontradiktif jika ternyata satu sifat dan oposisinya teraktualkan dalam waktu yang sama. Sedangkan pada sifat jâ’iz, kita tidak bisa nyatakan demikian, khususnya dalam kasus yang menyangkut pertanyaan utama di tulisan ini. Mengapa? Karena satu sifat dengan sifat oposisinya tidak teraktualkan dalam waktu yang sama dan pada objek yang sama.
Titik Kritis
Kita kembali ke persoalan awal, jika Tuhan memang Maha Pengasih, lantas kenapa ada neraka? Begitu kira-kira yang digugat. Muaranya, sebagian orang ingin menyatakan bahwa konsep sifat ini kontradiktif dan problematik. Padahal, sifat Maha Penyayang atau Maha Pengasih itu bagian dari sifat jâ’iz yang beroposisi dengan sifat Maha Pedih Siksaannya. Jika Tuhan menyiksa, maka saat itu Tuhan meninggalkan untuk mengasihi, begitu juga sebaliknya. Lebih detailnya, Tuhan tidak punya kewajiban untuk menyayangi dan mengasihi hambanya. Tuhan itu Maha Absolut. Kalau Tuhan wajib mengasihi, maka seharusnya neraka itu tidak ada. Nyatanya, Tuhan bebas ingin apa saja. Kalau Tuhan hanya berbuat baik, maka Tuhan terbatas; “dipenjara” akan batas kebaikan.
Hal lain yang mendukung kerancuan semacam ini adalah adanya anggapan kalau segala kebaikan itu pasti dari Tuhan dan Tuhan hanya melakukan kebaikan. Memang benar bahwa Tuhan menciptakan kebaikan, tapi kita tidak boleh lupa bahwa kejahatan itu juga diciptakan oleh Tuhan, bahkan Tuhan sendiri bisa menjadi pelaku kejahatan itu.
Hal yang sama ada di bayangan mazhab Muktazilah, mereka membayangkan bahwa Tuhan itu hanya melakukan kebaikan dan terbaik (shalih wa ashlah). Tidak dengan keburukan. Padahal, sekali lagi Tuhan menciptakan keburukan. Dalam mazhab Ahlussunnah kita mengamini itu. Tapi, kenapa kita tidak menyandarkan keburukan kepada Tuhan? Alasannya, itu sebagai bentuk adab. Tapi, kalau dalam pembahasan ilmiah seperti ini, kita boleh menyandarkan keburukann kepada Tuhan, dalam artian Tuhan bisa juga berbuat paling keji, menyiksa dengan pedih, dan semacam itu. Bukankah banyak penggalan ayat Al-Qur’an yang menyatakan itu? Ini juga dicatat oleh Imam Al-Bajuri dalam Hâsyiyah ‘ala Jauhar Al-Tauhîd.
Ketuhanan itu tidak terciderai jika Tuhan berbuat jahat, keji, dan menyiksa dengan pedih. Sebab, jika Tuhan tidak mampu berbuat jahat, lantas siapa yang menciptakan kejahatan kalau bukan Tuhan? Justru kesempurnaan Tuhan akan tampak jika Tuhan itu absolut; bebas ingin merahmati dan menyiksa siapa saja.
Titik masalah lainnya, banyak orang mengira sifat Tuhan kontradiktif karena tidak mengetahui mana sifat wajib, mustahil, dan mana sifat jâ’iz dan mengira sifat jâ’iz ini sebagai syarat ketuhanan. Inilah titik kerancuan kerangka berpikir yang saya maksud di atas tadi. Maka kita perlu mengkaji ilmu akidah dengan lebih serius agar kita tidak mentah-mentah menerima syubhat dari luar.
Wallahu a’lam