Dalam kajian filsafat Islam atau pemikiran Islam, sebenarnya para ahli juga memiliki beragam kubu. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh beragam peristiwa historis dan postulat mazhab. Misalnya, kubu para filusuf paripatetik (masya’iy) sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, baik penerimaan dalam porsi maksimal, maupun minimal. Sedangkan kaum teolog (mutakallimun), dipengaruhi oleh penggalian teks suci (nushȗsh) dalam perihal teologi.
Jadi, mazhab pemikiran dalam Islam itu berjumlah lima; 1) Teologi (kalâm), 2) Paripatetik (masyâ’iy), 3) Iluminasi (isyrâqi), 4) Tasawuf irfani (‘irfâni), 5) Sadranian (al-hikmah al-muta’âli). Namun, pada tulisan kali ini, kita hanya terfokus pada argumentasi para teolog dalam membuktikan Tuhan, tanpa menafikan pentingnya argumen yang dikemukakan oleh mazhab lain dalam bab yang sama.
Sedikit informasi, argumen teolog ini nanti banyak digunakan oleh Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan sedikit banyaknya oleh Muktazilah.
Prolog Argumen
Ada satu postulat yang dipegang oleh mazhab ini tentang status eksistensi alam; keterbentukan alam dari substansi (jauhar) dan aksiden (‘aradh). Yang dimaksud dengan substansi adalah sesuatu yang bertempat dengan dirinya sendiri (mâ tahayyaza bi nafsihi) dan aksiden adalah sesuatu yang bertempat dengan bertempatnya sesuatu yang lain (mâ tahayyaza bi tahayyuzi ghairihi).
Contoh untuk memahami kedua teori ini adalah pulpen yang berwarna hitam. Pulpen adalah entitas yang tidak butuh sesuatu lain untuk menempati ruang. Dalam hal ini, pulpen tidak membutuhkan warna hitam untuk eksis. Sedangkan warna hitam yang melekat kepada pulpen itu butuh kepada pulpen itu sendiri. Karena warna hitam ini muncul dari substansi pulpen. Sedangkan substansi pulpen, tidak muncul melalui aksiden warna.
Tentang substansi dan aksiden, tidak akan kita sentuh kecuali sedikit dalam tulisan ini. Karena tempat yang tepat untuk membahas keduanya secara detail adalah ilmu kategori (al-maqȗlât). Anda bisa melihat sekelumit tentang keduanya dalam satu tulisan khusus yang telah lalu.
Sekadar informasi, ketika Imam Adhuddin Al-Iji (w. 756 H) menulis satu magnum opusnya yang bertajuk Al-Mawâqif, beliau baru memaparkan argumen keberadaan Tuhan di bab lima (al-mawqif al-khâmish). Sedangkan empat bab sebelumnya, hanya berkutat pada postulat dan pengantar intim dalam ilmu teologi, yaitu; 1) Pengantar umum, 2) Persoalan umum yang mencakup filsafat epistemologi dan ontologi, 3) Aksiden, dan 4) Substansi. Setelah itu, barulah beliau masuk ke argumentasi seputar ketuhanan.
Penyusunan tersebut, bukan tanpa alasan. Justru, argumen dalam membuktikan ketuhanan, sangat butuh penjelasan seputar substansi dan aksiden secara mendetail. Karena, ketika kita ingin membuktikan bahwa substansi dan aksiden itu baru (ada setelah mengalami ketiadaan), kita harus menganalisa esensi dari substansi maupun aksiden, beserta hukum dan sifat yang berlaku kepada keduanya. Setelah mengetahui itu, kita kemudian menganalisa apa itu hudȗts (baru; ada setelah mengalami ketiadaan), lalu menggeneralisir keberlakuannya kepada segenap semesta, dan menyatakan bahwa semesta itu ada setelah mengalami ketiadaan (creatio ex nihilo).
Jadi, kalau kita membahas cara teolog dalam membuktikan ketuhanan, maka yang menyelami pembahasan ini dianggap sudah melewati empat pembahasan krusial yang disebutkan tadi.
Postulat
Para teolog, memegang satu postulat yang menjadi jantung dari keempat argumennya; al-imkân ‘illah al-ihtiyâj (sesuatu yang mungkin itu membutuhkan sebab). Walaupun postulat ini pada akhirnya menjadi aksioma, tapi kita akan menjelaskan maksudnya pada tulisan ini.
Sesuatu yang diketahui (al-ma’lȗm) itu terbagi menjadi dua; ada (maujȗd) dan tiada (ma’dȗm). Sesuatu yang ada kemudian terbagi menjadi dua; 1) Wâjib. 2) Mumkin. Sedangkan sesuatu yang tidak ada terbagi menjadi dua; 1) Mumkin. 2) Mustahîl. Yang dimaksud dengan wâjib, mumkin, dan mustahil itu telah dijelaskan secara detail dalam salah satu tulisan yang lalu.
Kita hanya terfokus pada sesuatu yang ada saja dalam tulisan ini. Karena kita sedang berbicara seputar pembuktian keberadaan, tanpa menafikan sedikit dari bagian dari sesuatu yang tidak ada.
Eksistensi wajib itu harus ada dan tidak bisa diterima akal ketiadaannya. Sedangkan eksistensi mungkin itu bisa diterima akal keberadaan dan ketiadaannya. Eksistensi wajib, dalam sudut pandang teolog adalah Tuhan. Karena Tuhan itu ada tanpa memiliki awalan, alias ketiadaan. Keberadaan Tuhan tidak didahului oleh ketiadaan. Tuhan ada tanpa pernah mengalami ketiadaan. Karena eksistensi mungkin nanti akan berpusat di eksistensi wajib rantai sebab-akibatnya. Jika tidak, maka akan terjadi tasalsul dan tasalsul itu mustahil. Adapun penjelasan istilah tasalsul, bisa dirujuk ke tulisan yang telah lalu.
Eksistensi yang mungkin, butuh kepada sesuatu yang membuatnya ada atau tiada. Apa saja yang tergolong eksistensi mungkin? Jawabannya, alam. Apa yang dimaksud dengan alam? Alam adalah segala sesuatu selain Tuhan (kullu mâ siwallah). Maka, apapun selain Tuhan, keberadaannya pasti pernah mengalami ketiadaan. Di sinilah titik para teolog menyatakan bahwa alam itu baru (hudȗts al-‘alam).
Tapi, apa perbedaan antara baru (hudȗts) dan mungkin (imkân)? Kenapa para teolog menyatakan argumentasinya dengan hudȗts al-‘alam, bukan imkân al-‘âlam? Kita perlu membedah kedua terma krusial itu sebelum masuk ke implemtasi terma para teolog.
Mungkin itu adalah sifat dasar penerimaan keberadaan dan ketiadaan. Artinya, selama sesuatu itu mungkin, dia bisa saja ada, bisa juga tiada. Sedangkan jika sesuatu itu baru, maka dia pasti ada, tapi keberadaannya dilandasi oleh sifat mungkin. Dengan kata lain, mungkin itu belum tentu ada, sedangkan baru sudah pasti ada dan mungkin. Karena ada juga ketiadaan, tapi sifatnya mungkin.
Kenapa para teolog memilih terma hudȗts? Ini menunjukkan agar ada fragmen penting dalam argumen bisa diidentifikasi secara empiris. Ketika para teolog menggunakan terma hudȗts itu, secara tidak langsung ada tuntutan untuk menelaah ulang dari semesta yang “sudah ada”. Dalam ilmu debat, salah satu proposisi yang tidak bisa dibantah adalah proposisi identifikatif (musyahadât). Keberadaan alam ini bisa disaksikan langsung. Maka tidak ada celah untuk membantah, apakah alam ini ada atau tidak. Tapi, yang menjadi titik perdebatan, apakah alam ini ada setelah mengalami ketiadaan ataukah alam ini ada tanpa mengalami ketiadaan?
Agar argumen yang dilempar itu tidak mengawang-awang, maka argumen yang dipakai adalah identifikatif. Tapi, untuk menyatakan kebaruannya, itu berkaitan dengan penyifatan imkân dan hudȗts tadi. Maka dari itu, para teolog menyatakan bahwa sesuatu yang imkân itu butuh kepada sebab. Kenapa bukan hudȗts? Karena ketika kita menerima bahwa imkân itu butuh kepada sebab, maka otomatis berlaku juga kepada hudȗts, tidak sebaliknya. Relasi keduanya adalah umum dan khusus. Ini didasari oleh sebuah kaidah rasional: “Itsbât al-a’am yalzimu ‘ala itsbât al-akhash; wa lâ aks” (Mengafirmasi sesuatu yang umum, meniscayakan afirmasi sesuatu yang khusus, tidak sebaliknya).
Dari satu postulat ini, kemudian lahir empat fragmen argumen yang sama-sama penting: 1) Kebaruan substansi (hudȗts al-jauhar). 2) Kontigensi substansi (imkân al-jauhar). 3) Kebaruan aksiden (hudȗts al-‘aradh). 4) Kontigensi aksiden (imkân al-‘aradh).
Argumen Pertama
Premis 1: Alam substansial itu baru
Premis 2: Segala hal yang baru pasti ada yang mengadakan
Konklusi: Alam substansial itu ada yang mengadakan
Untuk premis pertama, sifatnya spekulatif (nazhari), butuh kepada sebuah pembuktian. Sebelum membuktikan, maksud dari alam substansial itu adalah alam secara esensi, tanpa memperhatikan aksiden apapun yang melekat pada esensi alam itu.
Para teolog dalam menyatakan kebaruan esensi, mereka menggunakan argumen talâzum (keniscayaan). Esensi itu pasti bersama dengan aksidennya. Aksidennya sendiri baru. Segala hal yang melekat atau melazimi sesuatu yang baru, maka pasti sesuatu itu juga baru. Maka, esensi itu baru; dalam hal ini ikut menyeret alam juga untuk masuk dalam kategori baru.
Keniscayaan esensi dan aksiden melekat itu aksiomatik; tidak perlu lagi ditanyakan kebenarannya. Kebenarannya tidak perlu juga dibuktikan oleh deretan argumen karena hal tersebut bisa disaksikan langsung. Seperti meja memiliki bentuk, benda-benda bumi menempati ruang, dan materi bisa bergerak, bisa juga diam. Hal aksidental atau yang bersifat sampingan tadi itu bisa disaksikan. Dan tidak mungkin ada aksiden jika esensinya tidak ada.
Adapun untuk premis kedua, banyak yang menyatakan kalau itu bersifat aksiomatik dari kalangan Ahlussunnah, walaupun ada juga beberapa yang menambahkan catatan penting (tanbîh). Mayoritas ulama Muktazilah menganggap premis kedua ini spekulatif. Mereka berargumen dengan dua cara:
Pertama, menggunakan analogi. Mereka menganalogikan perbuatan manusia dengan esensi. Perbuatan manusia itu hâdits. Pasti perbuatan itu ada yang mengadakan. Begitu juga esensi, dia butuh kepada sesuatu lain yang menyebabkan keberadaannya. Titik kesamaan antara perbuatan manusia dan esensi adalah hâdits. Karena esensi ini hâdits, maka kita bisa menerima bahwa sesuatu yang hâdits pasti diadakan oleh sesuatu yang lain.
Kedua, sesuatu yang hâdits itu pasti ada setelah mengalami ketiadaan; artinya hâdits itu menerima status eksis dan nihil, maka dia tergolong mungkin. Karena sesuatu yang mungkin butuh kepada sesuatu yang memberatkan (tarjîh) keberadaan salah satu kemungkinan dari deretan kemungkinan yang lain; ada atau tidak.
Argumen pertama ini (kontigensi substansi) juga digunakan oleh Sayyidina Ibrahim As. Beliau membantah bahwa benda-benda langit itu layak disembah. Beliau mengatakan:
…لا أحب الأفلين
“…aku tidak menyukai sesuatu yang terbenam.” (Al-An’am: 76)
Konteks ucapan Sayyidina Ibrahim yang diabadikan dalam Al-Qur’an, dijelaskan oleh Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam Mafâtih Al-Ghaib, bahwa pada masa itu orang meyakini Nabi Ibrahim sebagai orang yang menyibukkan diri dalam mempelajari benda-benda angkasa. Kesibukan beliau ini kemudian diduga sebagai bentuk penghambaan dan bentuk dakwah agar menyembah benda langit oleh kaum beliau. Tapi, ayat ini sebagai bentuk kritik keras kepada kaumnya, bahwa beliau tidak menyukai sesuatu yang terbenam. Ini berarti beliau tidak menyembah benda langit itu, karena tidak menyukainya.
Di bagian lain, Imam Al-Razi menjelaskan signifikasi dari ketidaksukaan. Kata Imam Al-Razi, ini menunjukkan kepada kekafiran. Dengan kata lain, beliau tidak menyukai benda langit yang bisa terbenam karena mengantarkan menuju kekafiran.
Prof. Dr. Hasan Mahram, Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, menulis sebuah penjelasan dari diktum Nabi Ibrahim As. tersebut yang dikutip oleh Imam Al-Iji dalam Al-Mawâqif. sebagai hipotesa, kalau benda langit yang disukai saja tidak layak disembah, apalagi yang tidak disukai lebih tidak layak untuk disembah. Dalih untuk membenarkan itu adalah kebaruan atau kontigensi substansi. Kebaruan substansi benda langit itu karena aksidennya juga baru. Bukti kebaruan aksidennya adalah sifat gerak yang dimanifestasikan dengan terbenam. Tuhan tidak mungkin baru dan orang berakal tidak akan menyukai jika Tuhan itu pernah tidak ada kemudian ada. Tidak menyembah benda langit yang dituhankan itu lebih baik, jika kita menggunakan akal sehat.
Argumen Kedua
Premis 1: Alam substansial itu mungkin
Premis 2: Semua yang mungkin butuh kepada sebab yang memberi dampak kepadanya
Konklusi: Alam substansial butuh kepada sebab yang memberi dampak kepadanya.
Premis pertama itu sifatnya spekulatif; butuh kepada pembuktian. Kita bisa membuat proposisi hipotesis dengan menyelipkan klasifikasi dikotomis untuk mengidentifikasi alam semesta.
Alam itu bisa saja korpus (tiga dimensi), bisa juga quark (partikel terkecil yang tidak terbagi). Korpus itu tersusun dan menerima keterbagian (kastrah). Karena korpus itu merupakan hasil ketersusunan dari banyak qurak. Jadi, korpus itu katsrah dan quark itu akan mengantarkan kepada ketersusunan. Baik itu korpus maupun quark, tidak ada yang layak menjadi Wâjib Al-Wujȗd; penyifatan keniscayaan eksis kepada Tuhan. Karena Wâjib Al-Wujȗd itu pasti tidak tersusun dan Dia itu tidak terbagi (wahdah). Karena ketersusunan dan keterbagian merupakan sesuatu yang butuh kepada sesuatu yang lain. Keterbutuhan adalah bukti bahwa dia mungkin. Maka alam semesta itu mungkin.
Sedangkan premis kedua bisa dibuktikan dengan status mungkin yang kemungkinan keterberatannya itu setara. Untuk memberatkan salah satu kemungkinan itu butuh kepada sesuatu lain yang bisa memberatkan sesuatu itu. Maka dari itu, alam substansial butuh kepada sebab yang memberi dampak kepadanya.
Tentu yang memberi dampak itu bukan dari sesuatu yang mungkin. Karena mungkin sendiri sejak awal tidak memiliki otoritas untuk memberatkan, tapi diberatkan. Sesuatu yang ada itu kalau bukan wajib, pasti mungkin. Tapi, sesuatu yang mungkin mustahil memberatkan, karena dia diberatkan. Maka tersisa Wâjib Al-Wujȗd dalam memberatkan. Dan Wâjib Al-Wujȗd adalah Tuhan.
Argumen Ketiga
Pada bagian ini, para teolog berargumen bahwa aksiden itu baru (hudȗts al-a’râdh). Mereka membagi dua pembuktian itu; ada dalam domain internal (anfus) dan eksternal (âfâq).
Pertama, pada domain internal. Hal itu bisa disaksikan dengan adanya perubahan pada diri manusia yang dulunya hanya sebatas air mani, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian segumpal daging, sampai seterusnya. Perubahan ini merupakan bentuk perubahan aksiden. Perubahan aksiden itu meliputi perubahan warna, bentuk, massa, dan sebagainya. Semua ini disebabkan oleh Maha Pencipta. Karena Maha Pencipta itu merupakan pelaku absolut (al-fâ’il al-mukhtâr).
Adanya efek dari sesuatu yang tidak absolut itu mustahil. Adapun sebab dari selain Tuhan seperti potensial yang terjadi di alam semesta, sebagaimana yang diamini oleh sebagian besar filusuf alam dan saintis (thaba’iyyun), itu lebih mustahil. Karena potensial itu adalah sesuatu yang menjadi objek dari pelaku absolut. Bagaimana mungkin objek menggeser subjek absolut untuk mengeksekusi objek yang sama?
Kedua, pada domain eksternal. Hal tersebut bisa disaksikan dengan adanya perubahan pada benda langit, pepohonan, barang tambang, dan lain sebagainya. Semua hal ini menunjukkan keberadaan Tuhan yang membuatnya berubah.
Argumen Keempat
Titik fokus argumen ini adalah mungkinnya aksiden melekat pada inangnya atau kontigensi aksiden. Inang yang dimaksud adalah korpus. Korpus itu sepakat dari segi hakikat (muttafiqah fi al-haqîqah).
Hal itu karena korpus itu tersusun atas quark yang sejenis. Maka tidak mungkin pemberatan (takhsîsh atau tarjîh) terjadi dari aksiden itu sendiri maupun dari esensi selain dari Tuhan. Karena pemberatan kemungkinan yang dilakukan oleh aksiden tertentu, itu mengantarkan untuk sampai kepada pemberatan lain lagi. Karena aksiden sendiri adalah hal mungkin dan butuh kepada sesuatu yang lain. Jika pemberatan ini tidak berujung, maka akan terjadi tasalsul dan tasalsul itu mustahil. Maka aksiden butuh kepada pemberat absolut yang tidak diberatkan.
Argumentasi seperti ini juga dilakukan oleh Sayyidina Musa As.:
ربنا الذي أعطى كل شيء خلقة ثم هدى
“Tuhan kami ialah (Tuhan) yang memberikan petunjuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (Taha: 50).
Ayat ini memberikan signifikasi bahwa Tuhan yang memberikan bentuk dan rupa tertentu terhadap sesuatu yang sesuai dengan hikmah dan manfaatnya. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. Hasan Mahram dalam penjelasannya terhadap Al-Mawâqif Al-Khâmish. Artinya, yang memberatkan aksiden adalah Wâjib Al-Wujȗd. Bukan aksiden, bukan pula esensi.
Epilog
Setelah teolog melontarkan empat argumen bahwa Tuhan itu ada, maka dapat disimpulkan bahwa Tuhan itulah yang mengadakan alam dan Dia harus Wâjib Al-Wujȗd. Jika tidak, maka pasti Dia mungkin. Jika Dia mungkin, maka Dia butuh kepada sesuatu yang mengkhususkan. Jika rentetan pengkhususan itu tidak berhenti, maka akan bermuara pada tasalsul. Jika terjadi sirkulasi tanpa batas dan kembali ke awal, maka akan terjadi daur. Sedangkan tasalsul dan daur itu mustahil.
Maka yang benar, pasti yang tidak ada tasalsul dan daur-nya; yaitu adanya rentetan sebab-akibat yang bermuara pada eksistensi Wâjib Al-Wujȗd dan Dia harus qadîm. Jika tidak, maka dia menjadi hâdits. Jika Dia hâdits, maka Dia butuh kepada sesuatu yang mengkhususkan. Jika demikian, akan terjadi tasalsul karena rentetan pengkhususan tanpa batas. Dan tasalsul itu mustahil. Maka dari itu, Dia harus qadîm. Inilah titik yang diinginkan oleh argumen ini (fahuwa al-mathlȗb).
Wallahu a’lam