Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Aswaja; Apa dan Siapa? (Bag. 2)

Oleh Muhammad Said Anwar
3 Agustus 2023
in Ilmu Firaq
Aswaja; Apa dan Siapa? (Bag. 1)
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Pada tulisan sebelumnya, kita sudah membahas tentang hadis iftirâq (hadis seputar sekte) dan bagaimana pandangan ulama tentang hadis itu sebagai sebuah prolog. Kali ini, kita akan bersinggungan dengan terma Aswaja (Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah).

Sebelum kita melihat objek signifikasi utuh dari Aswaja, kita akan menilik istilah per patahan katanya (mufradan), lalu setelah itu kita melihatnya dalam bentuk frasa (murakkaban). Maka dari itu, kita mulai dari menilik apa itu al-sunnah? Dan apa itu al-jama’ah?

Nuktah: Al-Sunnah

Pembahasan ini akan dibagi menjadi dua; etimologi dan terminologi.

Bagian Pertama: Etimologi

Secara etimologi, al-sunnah memiliki beragam makna. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Mu’jam Al-Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu’âshirah, bahwa al-sunnah memiliki lima makna:

Pertama, jalan, metode, atau perbuatan yang diikuti oleh sekelompok orang atau di tempat tertentu. Ini juga disebut sebagai sunnah al-thabî’ah (tabiat sunnah) yang bermakna hukum atau kode etik tertentu.

Jadi, jika ada sebuah aturan yang ditaati, sebuah teladan yang dihormati, dan sebuah perbuatan yang dicontohi, maka sesuatu itu disebut dengan al-sunnah dalam pengertian ini.

BacaJuga

Aswaja; Apa dan Siapa? (Bag. 1)

Kedua, sejarah baik atau buruk. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Swt:

وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَن يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَىٰ وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلَّا أَن تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ

“Dan tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika sampai kepada mereka petunjuk dan memohon ampun kepada Tuhan mereka, kecuali mereka (menanti) datangnya sejarah umat terdahulu” (Al-Kahfi: 55)

Ketiga, hukum Allah kepada ciptaan-Nya. Ini yang sering disebut dengan sunnatullah yang berarti ketetapan atau hukum Allah yang berlaku di alam semesta dalam makna yang luas, tidak harus pada konteks yurispridensi saja.

Keempat, bermakna hadis; segala hal yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrîr. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis:

عليكم بسنتي…

“Hendaklah kalian (mengikuti) sunnah (hadis)-Ku…” (HR. Ahmad: 17144)

Kelima, perbuatan terpuji yang tidak bersifat fardhu, tidak juga wajib. Berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.

Ketika Dr. Farag mencoba menelusuri makna al-sunnah lebih dalam pada kamus klasik maupun kontemporer, beliau mendapati bahwa kata al-sunnah itu menunjukkan kepada makna: jalan yang dilalui dalam hal apapun, baik dalam konteks kebaikan maupun keburukan dan kata itu juga memiliki makna lain yang tidak dibutuhkan dalam pembahasan ini, serta makna-makna yang dihadirkan tidak memberikan hal baru, alias efek signifikan, sehingga kita tidak perlu berlarut dalam pembahasan etimologi ini.

Bagian Kedua: Terminologi

Al-sunnah dalam perjalanannya, menjadi referensi primer kedua setelah Al-Qur’an. Hal tersebut karena selain al-sunnah menjadi pedoman, juga menjadi titik sentral antar disiplin. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun al-sunnah menjadi titik sentral antar ilmu, tetap saja ilmu memiliki porsi, sudut pandang, fungsi, dan esensi yang berbeda. Tak terkecuali fungsi al-sunnah berbeda dalam masing-masing disiplin ilmu. Melihat hal tersebut, maka definisi al-sunnah sebagai terma dalam masing-masing ilmu berbeda. Ini juga menimbang sebuah kaidah populer yang berbunyi:

لكل فن يصطلح

“Setiap disiplin ilmu memiliki istilahnya masing-masing.”

Disiplin Pertama: Hadis

Dalam ilmu hadis, konsentrasi terhadap hadis itu tinggi, melihat hadis itu merupakan titik sentral kajian. Bahkan, segala aspek kehidupan Nabi menjadi sorotan utamanya. Maka, definisi yang mereka ajukan itu lebih komprehensif. Ini sebagaimana yang ditulis oleh Imam Al-Sakhawi dalam Fath Al-Mughîts:

مضاف للنبي -صلى الله عليه وسلم- قولا له أو فعلا أو تقريرا وكذا وصفا وأياما

“(Sesuatu) yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa sabda, perbuatan, taqrîr, sifat, dan keseharian-Nya.” (Syamsuddin Al-Sakhawi, Fath Al-Mughîts bi Syarh Alfiyyah Al-Hadîts Al-‘Irâqi, 2003, Mesir: Maktabah Al-Sunnah, Vol I, Hal 26).

Adapun definisi al-sunnah yang populer di kalangan ahli hadis (muhadditsîn) itu ditulis oleh Syekh Shalih bin Thahir Al-Jazâ’iri dalam Taujîh Al-Nazhar ilâ Ushȗl Al-Atsar:

أقول النبي عليه الصلاة والسلام وأفعاله وأحواله

“(Al-sunnah adalah) sabda Nabi Saw., perbuatan-Nya, dan keadaan-Nya.” (Thahir bin Shalih Al-Jaza’iri, Taujîh Al-Nazhar ilâ Ushȗl Al-Atsar, 1995, Aleppo: Maktabah Al-Mathbȗ’at Al-Islâmiyyah, Hal 37).

Disiplin Kedua: Ushul Fikih

Ilmu ini punya konsentrasi terhadap dasar atau kaidah penetapan hukum. Maka, ahli ushul (ushuliyyun) menggunakan definisi al-sunnah sesuai dengan porsi dalam kajian mereka.

Imam Tajuddin Al-Subki menulis dalam Al-Ibhâj fi Syarh Al-Minhâj bahwa terma al-sunnah diberlakukan kepada segala hal yang datang dari Rasulullah Saw., baik itu ucapan dan perbuatan yang bukan mukjizat. Termasuk pula taqrîr itu dalam perbuatan karena beliau pasti mencegah perbuatan mungkar dan pencegahan itu beliau lakukan secara bebas.

Disiplin Ketiga: Fikih

Ilmu fikih memiliki madrasah atau mazhab. Masing-masing madrasah memiliki metode dan cara tersendirinya dalam meramu hukum. Madrasah yang terkenal ada empat; Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanbaliyyah.

Dalam madrasah fuqahâ’ Hanafiyyah, al-sunnah itu beraarti perbuatan yang tekun (wâzhib) atau tegas dilakukan oleh Nabi Saw., dan tidak ditinggalkan kecuali sekali atau dua kali saja, sebagai penjelasan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut bukanlah dosa. Mereka membedakan terma al-sunnah dan al-mustahab. Jika al-sunnah dilakukan dengan cara yang tekun, maka al-mustahab tidak. Tapi, persamaan keduanya, tidak berdosa jika ditinggalkan. Ini sebagaimana yang ditulis oleh Imam Jamaluddin Zakariya bin Mas’ud Al-Anshari dalam Al-Lubâb fi Jam’i baina Al-Sunnah wa Al-Kitâb.

Sedangkan Imam Ibnu ‘Abidin menulis dalam Radd Al-Muhtâr ‘ala Al-Durr Al-Mukhtâr bahwa al-sunnah adalah sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Saw. secara tekun. Tapi, jika Nabi Saw. tidak meninggalkannya, maka itu menunjukkan bahwa perbuatan itu termasuk sunnah mu’akkad. Sedangkan, jika kadang Nabi Saw. meninggalkannya, maka itu termasuk sunnah ghairu mu’akkad.

Dalam madrasah fuqahâ’ Malikiyyah, al-sunnah itu adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Nabi Saw. tanpa ada indikasi akan wajibnya dilakukan dan tidak disifati dengan nâfilah. Sedangkan nâfilah adalah sesuatu yang diakui oleh syariat tanpa adanya perintah untuk melakukannya. Ini sebagaimana yang ditulis oleh Imam Syamsuddin dalam Mawâhib Al-Jaliyyah fi Syarh Mukhtashar Al-Khalîl.

Dalam madrasah fuqahâ’ Syafi’iyyah, terma al-sunnah ada sebagai oposisi dari wajib dalam bab ibadah. Ini makna pertama. Makna kedua, al-sunnah berarti segala hal yang bersumber dari Nabi Saw. baik ucapan yang bukan termasuk mukjizat, perbuatan, taqrîr, ataupun himmah-Nya. Keterangan ini ditulis oleh Imam Al-Isnawi dalam Nihâyah Al-Sȗl dan Imam Kamaluddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman dalam Taisîr Al-Wushȗl ilâ Minhâj Al-Wushȗl.

Masih dalam madrasah yang sama, mereka menganggap al-sunnah itu sinonim dengan al-mustahab, al-mandȗb, dan al-tathawwu’ dalam hal perbuatan yang dituntut dengan tuntutan tidak tegas (fi’l al-mathlȗb thalaban ghairu jâzim). Ini diterangkan oleh Imam Hasan Al-Atthar dalam Hasyiyah Al-Atthar ‘ala Jam’i Al-Jawâmi’.

Dalam madrasah fuqahâ’ Hanbaliyyah, al-sunnah itu berarti sesuatu yang jika dilakukan mendapatkan pahala dan berdosa jika ditinggalkan. Definisi seperti ini bisa didapatkan dalam Syarah Ghâyah Al-Muntahâ karya Imam Musthafa bin Sa’ad Al-Hanbali.

Dari keempat madrasah itu, mayoritas memaknai al-sunnah sebagai bukan sesuatu yang wajib. Maka dari itu, al-sunnah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang disukai jika dilakukan. Begitu kesimpulan yang ditarik oleh Qadhi Abu Ya’la dalam Al-‘Uddah fi Ushȗl Al-Fiqh.

Jadi, dari ketiga disiplin itu, masing-masing menggunakan terma al-sunnah. Tapi, ketika mereka mencoba mendefinisikan al-sunnah, semuanya mengarah ke bagian tertentu, sesuai dengan porsi masing-masing disiplin untuk membantu memahami persoalan dalam disiplinnya.

Nuktah: Al-Jama’ah

Bagian ini dibagi menjadi dua bagian; etimologi dan terminologi.

Bagian Pertama: Etimologi

Dalam Mu’jam Al-Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu’ashirah, kata al-jama’ah itu bisa bermakna dua; Pertama, manusia, pohon-pohonan, dan tumbuh-tumbuhan dalam jumlah besar. Kedua, mazhab, kelompok, atau golongan orang yang di mana mereka berkumpul karena satu tujuan, baik itu dalam sesuatu yang bersifat kenegaraan, keagamaan, dan lain sebagainya.

Menurut analisa Dr. Farag, kata al-jama’ah yang muncul di kamus kontemporer itu lebih dekat dari yang ada dalam terma klasik; menunjukkan kepada makna keterhimpunan dan muncul dalam bentuk golongan yang besar.

Bagian Kedua: Terminologi

Terma al-jama’ah masih memiliki makna keterhimpunan; lawan dari keterpecahan. Terma ini dipakai karena agama menganjurkan untuk mengamini persatuan.

Banyak ulama membahas terma al-jama’ah ini. Awalnya, terma al-jama’ah ini mencakup makna umum: persatuan dan menjauhi perpecahan, sebagaimana yang terdapat di dalam wahyu ilahi.

Belakangan, ulama menjadikan terma al-jama’ah sebagai istilah untuk sekte tertentu di masing-masing karyanya. Masing-masing sekte mengklaim bahwa merekalah al-jama’ah itu. Hal tersebut mulai memanas saat abad ke-8 H, masa Imam Al-Syatibi dan sengketa terma al-jama’ah sebagai sebuah sekte menjadi baku. Sebelum beliau, ulama masih menyinggung embrionya.

Imam Al-Syatibi menulis dalam Al-I’tishâm bahwa ketika para ulama mendapati hadis iftirâq dengan beragam variasi riwayatnya, di sana ada 26 pembahasan. Adapun terkait sengketa terma al-jama’ah, itu merupakan persoalan ke-16. Dari sini, ada perbedaan interpretasi, ketika Nabi Saw. menyebut al-jama’ah masuk surga, siapakah mereka? Imam Al-Syatibi mengatakan, ada 5 pendapat terkait itu.

Pendapat Pertama

Pendapat ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-jama’ah adalah al-sawâd al-a’zham (kelompok mayoritas). Asas pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ibnu ‘Abbas Ra.:

خرج علينا النبي -صلى الله عليه وسلم- يوما فقال: عرضت على الأمم، فجعل يمر النبي معه الرجل، والنبي معه الرجلان والنبي معا الرهط، والنبي ليس معه أحد، ورأيت سوادا كثيرا سد الأفق، فرجوت أن تكون أمتي، فقيل : هذا موسى وقومه، ثم قيل لي : انظر، فرأيت سوادا كثيرا سد الأفق، فقيل لي : انظر هكذا ،وهكذا فرأيت سوادا كثيرا سد الأفق فقيل : هؤلاء أمتك، ومع هؤلاء سبعون ألفا يدخلون الجنة بغير حساب.

“Suatu hari, Nabi Saw. keluar kepada kami kemudian bersabda: Telah diperlihatkan kepadaku umat, Saya melihat Nabi yang memiliki beberapa pengikut. Ada Nabi yang memiliki dua pengikut, ada yang memiliki sekelompok pengikut, dan tidak punya pengikut. Kemudian Saya melihat kelompok yang banyak (sawâd) di atas ufuk, Saya mengira mereka umatku. Dikatakan (kepada-Ku): Ini adalah (Sayyidina Musa As.) dan kaum-Nya. Kemudian, dikatakan (kepada-Ku): Lihatlah! Kemudian, Saya melihat kelompok yang sangat banyak di atas ufuk. Dikatakan (kepada-Ku): Lihatlah, ini dan ini. Saya kemudian melihat kelompok yang banyak ke arah ufuk. Dikatakan (kepada-Ku): Mereka adalah umat-Mu. Di antara mereka ada 70.000 yang masuk surga tanpa melewati hisab.” (HR. Al-Bukhari: 5752).

Dari sini, kemudian Rasulullah mendorong untuk memiliki banyak keturunan:

تزوجوا الودود الولود, إني مكاثر الأنبياء يوم القيامة

“Nikahilah (wanita) yang penyayang dan subur, sesungguhnya Saya bangga (di hadapan) para Nabi di hari kiamat.” (HR. Ahmad: 12613).

Imam Al-Syatibi menyatakan dalam Al-I’tisham bahwa yang termasuk dalam al-jama’ah (dalam pendapat pertama) ini adalah para mujtahid, ulama, ahli syariat dan pengamalnya, dan selain itu. Sedangkan para ahli bid’ah, tidak masuk dalam kelompok ini. Mereka mengikuti jalannya iblis.

Dalam salah satu riwayat hadis iftirâq juga disebutkan bahwa yang selamat dari sekian banyak golongan adalah al-sawâd al-a’zham. Ada riwayat lain dari Sayyidina Anas bin Malik yang mendukung riwayat tersebut:

سمعت رسول الله يقول: إن أمتي لا تجتمع على الضلالة, فإذا رأيتم الاختلاف فعليكم بسواد الأعظم

“Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya umat-Ku tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Jika kalian mendapati perbedaan pendapat, maka ikutilah al-sawâd al-a’zham.” (HR. Ibnu Majah: 3950).

Imam Ibnu Atsir dalam Al-Nihâyah fi Gharîb Al-Hadîts menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-sawâd al-a’zham adalah seluruh atau mayoritas orang yang taat kepada pemerintah dan mengamalkan jalan yang lurus.

Pendapat Kedua

Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan al-jama’ah adalah kelompok ulama. Dasar pendapat ini adalah firman Allah yang meninggikan derajat orang-orang berilmu:

…يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ…

“…Allah mengangkat (derajat) orang-orang di antara kalian dan orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (Al-Mujadilah: 11).

Imam Al-Syatibi menyatakan bahwa yang dimaksud oleh al-jama’ah adalah kelompok ulama. Siapapun yang menyimpang dari ulama, maka dia akan mati seperti orang-orang jahiliyyah. Karena Allah menjadikan mereka hujjah kepada umat. Atas jasa ulama juga, aktualisasi dari hadis:

إن أمتي لا تجتمع على الضلالة

“Umat-Ku tidak akan bersepakat atas kesesatan”

Imam Al-Syatibi kemudian menambahkan lagi bahwa yang dimaksud dengan “Umat-Ku” adalah ulamanya umat Rasulullah Saw. Atas dasar ini, orang-orang yang tergolong ulama, pasti tidak tergolong ahli bid’ah. Karena pada dasarnya, orang alim itu tidak melakukan bid’ah. Bid’ah juga tidak terhitung dalam proses konsensus (ijma’) ulama, karena esensi bid’ah itu menyimpang (mukhâlafah) dari konsensus. Maka dari itu, bid’ah pasti tidak masuk al-jama’ah atau al-sawâd al-a’zham dan yang masuk dalam golongan itu adalah yang bukan pelaku bid’ah.

Imam Bukhari, Imam Tirmidzi, Abdullah bin Mubarak, Imam Ishaq bin Rawahih, dan Syekh Salamah Al-‘Azzami memilih pendapat ini. Syekh Salamah Al-‘Azzami juga menulis dalam Al-Barâhin Al-Sâthi’ah fi Radd Badh Al-Bida’ Al-Syâ’i’ah bahwa ketika mayoritas umat dari ulama sudah menyepakati sesuatu, maka pasti kesepakatan mereka kontras dengan para pemuja hawa nafsu dan orang-orang sesat. Ini berarti yang dimaksud dengan al-jama’ah adalah ulama.

Pendapat Ketiga

Pendapat ini menyatakan bahwa yang dimaksud oleh terma al-jama’ah adalah para sahabat secara khusus. Karena mereka yang pada dasarnya tidak bisa bersepakat dalam kesesatan dan yang mungkin seperti itu adalah selain dari sahabat. Ini ditulis oleh Imam Al-Syatibi dalam Al-I’tisham. Bahkan, kaidah yang diberlakukan kepada sahabat dalam ilmu hadis, mereka dihukumi adil.

Hal yang mendukung ini adalah riwayat dari hadis iftirâq juga, tapi ada redaksi yang koresponden dengan terma al-jama’ah:

ما أنا عليه وأصحابي

“(Mereka) yang mengkuti (jalan)-Ku dan para sahabat-Ku.”

Rujukan “mengikuti” ini adalah apa yang diucapkan, dilakukan, dan diijtihadkan oleh Nabi Saw. dan para sahabat-Nya. Jelas, untuk pendapat ketiga ini para pelaku bid’ah tidak termasuk di dalamnya. Demikian, keterangan Imam Al-Syatibi.

Pendapat Keempat

Terma al-jama’ah merujuk kepada orang Islam menurut pendapat keempat ini. Alasan pandangan ini mengabsahkan umat Islam sebagai al-jama’ah adalah mereka bersepakat tentang hal tertentu yang jika diingkari, konsekuensinya bisa sampai pada implikasi kekafiran (ma’lȗm min al-dîn bi al-dharȗrah).

Ada catatan tambahan yang diberikan oleh Imam Al-Syatibi. Pendapat ini bisa diterima jika rujukannya adalah pendapat kedua; kelompok yang berisi ulama atau pendapat pertama; di dalam mayoritas umat, pasti ada ulama yang mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Maka dari itu, mereka mustahil bersepakat untuk sebuah kesesatan.

Pendapat Kelima

Orang-orang yang taat kepada pemerintah adalah mereka yang tergolong dalam terma al-jama’ah, menurut pendapat kelima ini. Imam Al-Syatibi mengatakan bahwa ini adalah pandangan yang dipegang juga oleh Imam Ibnu Jarir Al-Thabari. Alasannya, Nabi Saw. memerintahkan untuk taat kepada pemimpin. Tapi, ketaatan ini terbatas pada ketetapan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis.

Khutbah Sayyidina Abu Bakar Al-Shiddiq Ra. mendukung pendapat kelima ini. Dalam Kitâb Al-Riddah yang ditulis oleh Al-Waqidi, Sayyidina Abu Bakar berkhutbah bahwa beliau mengutus panglima terbaiknya; Sayyidina Khalid bin Walid Ra. untuk memimpin pasukan Muhajirin dan Anshar. Mereka tidak diperintahkan menyerang semata tanpa alasan. Hal ini dilakukan Sayyidina Abu Bakar sebagai peringatan kepada orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah Saw. Di bagian khutbah selanjutnya, beliau mengatakan:

فمن دخل في الطاعة وسارع إلى الجماعة…

“Maka barangsiapa yang kembali taat dan bergegas (kembali) kepada al-jama’ah (golongan yang taat kepada pemimpin)…” (Muhammad bin Umar bin Waqid, Kitâb Al-Riddah, 1990, Beirut: Dar Al-Gharb Al-Islamiyyah, Hal 71).

Syekh Thahir bin Asyur memiliki interpretasi tersendiri seputar Perang Riddah. Menurut beliau, saat itu umat Islam terpecah menjadi tiga:

Pertama, mereka yang menetap dalam Islam, mengamalkan agama, dan mendalami Al-Qur’an melalui sunnah. Mereka juga adalah penduduk kota Makkah, Madinah, dan Tha’if. Kedua, mereka yang menolak membayar zakat. Mereka ini adalah orang yang tidak memahami agama, kecuali kulit-kulitnya saja. Makanya sampai diperangi oleh Sayyidina Abu Bakar Al-Shiddiq. Ketiga, mereka yang memilih murtad.

Kelompok pertama ini disebut Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah oleh Syekh Thahir bin Asyur. Tapi, dalam konteks ini, yang dimaksud adalah mereka yang taat dan tidak memilih untuk memberontak kepada pemimpin.

Dari kelima pendapat yang dipaparkan oleh Imam Al-Syatibi, semuanya sepakat bahwa kelompok yang selamat (al-jama’ah) adalah mereka yang tidak termasuk ahli bid’ah dan bersepakat akan hal yang direstui syariat. Ini berarti penekanan terma al-jama’ah, lebih berat ke arah kesepakatan akan hal yang sudah bisa dipastikan kebenarannya.

Tulisan kali ini hanya berkutat pada dua terma besar; al-sunnah dan al-jama’ah sebagai definsi untuk satu patahan kata dari terma Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah atau disingkat menjadi Aswaja sebagai sebuah terma baku. Lalu, bagaimana dengan definisi Aswaja sebagai frasa (murakkaban)? Insya Allah akan dibahas pada tulisan yang akan datang.

Wallahu a’lam

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Aswaja; Apa dan Siapa? (Bag. 1)
Ilmu Firaq

Aswaja; Apa dan Siapa? (Bag. 1)

Oleh Muhammad Said Anwar
25 Juli 2023
Artikel Selanjutnya
Kulliyyah dan Juz’iyyah

Kulliyyah dan Juz’iyyah

Al-Ma’lum; Antara Asy’ariyyah, Muktazilah, dan Filusuf

Al-Kulliyyât Al-Khamsah

Mafhum dan Mashdaq

Pohon Porfiri

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan