Sekitar satu tahun yang lalu, saya ditanya oleh salah seorang teman saat dia katanya sibuk “membincang” tuhan dengan komunitasnya. Salah satu pertanyaan yang cukup rumit dia jawab adalah pertanyaan melegenda ini, jika memang tuhan hanya satu, kenapa ada banyak agama? Kita perlu membahas beberapa hal dalam hal ini. Saya juga sudah membuat satu tulisan khusus yang membuktikan keesaan tuhan.
Kalau ditanyakan tentang banyaknya agama, ini lazim dengan membicarakan banyaknya tuhan juga. Kenapa? Karena masing-masing agama memiliki tuhannya. Karena agama banyak, tuhan juga banyak. Tapi kan, bukannya yang kita sepakati bahwa tuhan itu satu? Ini memang dua hal yang kontradiktif, kita harus menguatkan salah satunya. Saya sudah menguatkan opsi tuhan itu esa melalui salah satu tulisan. Namun, pernyataan banyaknya agama itu diperkuat dengan fakta bahwa memang agama itu banyak hari ini. Lantas, bagaimana kita menjawabnya?
Saya ingin membuat satu analogi. Anggaplah saya ini jomblo akut yang susah dapat pasangan hidup sampai sekarang. Kemudian, status kejombloan saya ini diketahui oleh beberapa orang. Orang-orang yang melihat keadaan yang prihatin ini kemudian berkomentar “Wah, Said ini masih bebas hidup dong” atau bisa saja ada berkomentar begini “Kasian ya si Said itu, dia dapat azab dunia tuh”. Artinya, di sini ada dua komentar tentang saya yang jomblo, ada yang melihat sebagai bentuk kebebasan, ada juga melihat itu sebagai simbol kesengsaraan, dan bisa saja ada komentar lain. Namun, perlu dilihat lebih teliti lagi, apakah karena ada dua komentar tentang saya lantas saya ini ada dua? Tidak kan? Jadi, komentar kita atau gambaran kita terhadap sesuatu adalah satu hal, sedangkan keberadaan sesuatu sendiri yang menjadi objek persepsi adalah hal yang lain.
Begitu juga dalam menyoal tuhan ini, apakah karena gambaran atau pemahaman tentang tuhan itu banyak lantas menjadikan tuhan itu banyak? Jelas jawabannya tidak. Gambaran tentang tuhan adalah satu hal, sementara eksistensi tuhan sendiri adalah hal yang lain. Kalau begitu, akan ada pertanyaan baru lagi, bagaimana menentukan tuhan mana yang benar? Ini akan dibahas pada tulisan khusus nanti.
Selain itu, kita perlu membedakan mana tuhan sebagai tuhan maha kuasa dan mana tuhan sebagai sesembahan manusia. Jelas ini dua hal berbeda. Tuhan yang pertama itu adalah tuhan yang benar-benar tuhan. Apa buktinya? Dia memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti qidam, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm bi nafsihi, dan wahdaniyyah. Akal kita tidak bisa menerima kalau tuhan itu tidak memiliki sifat-sifat seperti itu (nanti kita bahas masing-masing sifat itu secara detail). Sedangkan apa yang dituhankan atau dianggap tuhan, belum tentu benar-benar tuhan yang hakiki. Bisa saja dia itu hanya bernama tuhan, tapi pas diuji kebenarannya, ternyata tidak cocok.
Anggaplah ada yang menyembah Google, menyembah sendok, piring, kecoa, dan lain-lain. kemudian benda-benda itu diberikan gelar tuhan. Pertanyaannya, mana bentuk kekuasaannya? Bukannya tuhan itu harus maha kuasa? Ini berarti, Google, kecoa, pring, dan semacamnya itu hanya diberikan gelar tuhan, tapi bukan benar-benar tuhan.
Juga, kalau kita agak jeli membaca pertanyaan itu, sebenarnya pertanyaan itu tidak kontradiktif. Sebab, yang dimaksud dengan tuhan yang pertama dan kedua itu berbeda. Yang dimaksud tuhan pada frasa “Jika tuhan itu satu”, adalah tuhan yang maha kuasa, tuhan yang benar-benar tuhan. Sedangkan yang dimaksud tuhan pada agama-agama pada frasa kedua “Kenapa ada banyak agama” itu adalah tuhan sebagai sesuatu yang disembah manusia. Dalam ilmu mantik, hal seperti ini tidak bisa dikatakan kontradiksi. Sebab, salah satu syarat kontradiksi adalah dua hal yang bertentangan dalam subjek proposisi. Jadi, kalau subjek proposisi saja sudah berbeda konsepnya, maka ini tidak bisa dikatakan sebagai kontradiksi. Bedakan antara kontradiksi itu sendiri dan sesuatu yang dianggap sebagai kontradiksi. Dengan tidak adanya kontradiksi ini, maka pernyataan bahwa tuhan itu satu tidak batal, sebagaimana tidak batalnya ada banyak sesuatu yang dianggap tuhan oleh manusia sehingga ada banyak agama.
Jadi, sebagai kesimpulan, kita perlu mengamini bahwa gambaran kita tentang sesuatu, bukan berarti mempengaruhi keberadaan sesuatu itu sendiri. Gambaran bisa banyak, tapi tidak menambah eksistensi sesuatu yang menjadi objek bayangan itu sendiri. Juga, kita perlu membedakan mana tuhan sebagai pennguasa segalanya dan mana sesembahan manusia yang disebut tuhan.
Wallahu a’lam