Sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan di suatu daerah, pola pikir yang digunakan masyarakat saat itu masih terbilang cukup miris. Segala hal dan polemik saat itu kebenarannya bukan berdasarkan fakta yang kongkrit ataupun bisa diterima oleh akal. Kebanyakan malah cenderung mengambil mitos turun temurun dari nenek moyang lalu meyakininya sebagai sebuah kebenaran yang haqiqi tanpa meneliti lebih dalam.
Orang tua dulu sering memberikan larangan; jangan menyisir rambut tengah malam, jangan potong kuku di malam hari, jangan duduk di atas bantal, jangan berfoto bersama dengan jumlah ganjil, dan lain-lain. Kata orang tua dulu itu namanya “Pamali“, kalau dilanggar maka berbagai dampak negatif muncul seperti diganggu setan, bisulan, bahkan yang mengerikan bisa cepat mati. Ya, benar saja, di era sekarang si “Pamali” ini ternyata mulai kurang laku, alasannya satu, ketidaksesuaian antara sebab dan akibat. Jawaban dari setiap pamali dan akibatnya itu juga satu, “masa iya” atau “loh, kok bisa”.
Dewasa ini, ada saja beberapa yang masih percaya dan yakin terhadap mitos-mitos seperti itu atau yang sejenisnya. Biasanya selalu diawali dengan ungkapan “Katanya”. Salah satunya adalah “katanya semua orang yang berjodoh itu mirip wajahnya“. Penulis sengaja mengambil contoh ini karena beberapa waktu lalu berdiskusi dengan seorang teman dan mengangkat tema ini, keliatannya seru karena membahas jodoh.
Respon Penulis
Sebelum menjawab pernyataan itu, alangkah baiknya kita menyimak sejenak bagaimana cara menentukan benar/salahnya suatu perkara. Bersumber dari salah satu tulisan guru kami yaitu ustad Nuruddin dalam bukunya Logical Fallacy. Ada dua tolak ukur benar-salahnya pernyataan yang paling populer dan mendekati kebenaran, yaitu korespondensi dan konsistensi.
Korespondensi (muthobaqoh), teori ini mengatakan benar-tidaknya suatu pandangan bergantung pada sesuai tidaknya ia dengan realita/kenyataan. Sementara konsistensi, teori ini menyatakan bahwa benar-salahnya suatu pernyataan berdasarkan pada konsistensinya dengan pernyataan lain.
Sekarang kita hubungkan dengan sampel pernyataan “katanya semua orang yang berjodoh itu mirip wajahnya”. Apakah pernyataan ini benar secara realita? Jika dilihat melalui fakta, hanya sepersekian persen saja orang yang berjodoh lalu ditakdirkan memiliki wajah yang mirip, sisanya tidak. Itu artinya ia mengambil sampel sebagian orang untuk menyatakan hukum secara keseluruhan, dan itu sangat tidak bijaksana. Karena secara kenyataan bukan “semua” tapi hanya “sebagian” saja. Sama kasusnya ketika wanita yang takut atau sering dibohongi oleh laki-laki sialan, mereka sering mengatakan “semua laki-laki itu sama”, terus dibantah, berarti Nabi Muhammad juga? Ayahmu juga? Apakah patut kita menyamakan laki-laki sialan itu dengan laki-laki lain yang sangat berjasa untuk dia? Tentu tidak. Maka dengan tegas pernyataan semua yang berjodoh itu wajahnya mirip, itu salah. Seandainya ia menggunakan diksi sebagian, kita bisa membenarkan pernyataan itu.
Lalu kita gunakan teori kedua, yaitu konsistensi. Namun agar mudah memahaminya, kami menggunakan teori konsistensi kontradiksi (dalam ilmu mantiq disebut tanaqudh), yang dalam hal ini dikatakan apabila sebuah diksi (pernyataan) benar maka kontradiksinya salah, sebaliknya jika diksi itu salah maka kontradiksinya benar. Sekarang pernyataan “semua yang berjodoh itu mirip wajahnya”, itu benar atau salah? Anggap kita belum tau. Untuk mencari kebenaran diksi itu, kita datangkan kontradiksinya “sebagian orang yang berjodoh itu tidak mirip wajahnya”. Sekarang kita telisik pernyataan kontradiksinya apakah benar atau salah? Tentu saja benar, karena kenyataannya ada sebagian orang yang berjodoh tidak mirip wajahnya, sebut saja ada orang Indonesia menikahi gadis bule asal Rusia, atau orang India yang menikahi gadis Amerika dan lain sebagainya menurut fakta yang ada. Ketika kontradiksinya benar (sebagian orang yang berjodoh itu tidak mirip wajahnya) maka diksinya pun salah (semua orang yang berjodoh itu mirip wajahnya).
Jadi kesimpulannya, janganlah kita berpikir praktis tanpa menalar terlebih dahulu kebenaran suatu pernyataan. Orang awam biasanya punya tolak ukur yang lebih simpel. Dia hanya mengikuti kata orang. Kalau kata si A itu benar, maka itu benar, kalau tidak, maka itu salah. Terlebih yang berkata tidak tau apa-apa. Hatta perkataan orang tua pun kalau semisal mengganjal di akal maka jangan dulu anggap itu sebuah kebenaran, perlu ditelisik lagi kebenarannya melalui akal dan sumber kebenaran yang lain. Terkhusus bagi para tolibul ilmi. Sekian.