Pada tulisan sebelumnya telah dibahas apa itu jins[1]. Dalam pohon porfiri[2], nau’ tidak terlepas dari yang namanya jins. Karena jins merupakan salah satu unsur dari nau’. Sedangkan nau’ sendiri merupakan esensi utuh yang mencakup jins dan fashl.
Jika ditanya, “Apa itu khamar?” Maka, bisa lahir jawaban “Minuman yang memabukkan“. Minuman di sini sebagai jins, sedangkan sifat memabukkannya adalah sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain atau disebut dengan fashl. Sementara khamar itu sendiri adalah nau’-nya.
Nah, bagaimana jika yang ditanyakan adalah sesuatu yang menjadi individu[3] dari nau’ itu bagaimana? Maka individu dari nau’ itu adalah nau’ juga. Kenapa bisa demikian? Mari kita bedah pembahasan nau’ ini.

Dalam kitab Tadzhib ‘ala Tahdzib oleh Syaikh Al-Khabishi:
وهو المقول على الكثرة المتفقة الحقيقة في جواب ما هو
“Nau’ adalah sesuatu yang diberlakukan kepada banyak hakikat yang sama pada pertanyaan “apa itu?”
Lebih jelasnya, nau’ adalah konsep universal yang di bawahnya (individunya) terdapat hakikat yang sama yang fungsinya menjawab pertanyaan “apa itu?” (Ini sudah dijelaskan mengenai bentuk-bentuk pertanyaan di dunia akademisi di footnote pembahasan jins).
Misalnya, vodka, bintang, arak, dan yang sejenisnya merupakan individu dari khamar. Khamar di sini otomatis menjadi jins, alasannya sebagaimana di definisi nau’ sendiri bahwa individunya diharuskan memiliki hakikat yang sama (al-muttafaqah al-haqiqah).
Kalau kita melihat vodka, bintang, dan arak, mereka berbeda dari segi nama atau identitas saja, tapi sama dari segi hakikat. Jins dan fashl-nya juga sama. Ini merupakan salah satu cara mengetahui nau’.
Berbeda halnya dengan jins yang hakikat individunya itu harus berbeda. Misalnya pada kata haiwân yang mencakup manusia, monyet, jerapah, biawak, dan lain-lain. Tentu manusia, monyet, jerapah, dan biawak ini berbeda hakikatnya. Ya, walaupun dikategorikan sama-sama haiwan, tapi fashl atau unsur yang membedakannya itu juga berbeda satu sama lain yang dimiliki oleh masing-masing individu itu. Jika fashl-nya sudah berbeda, tentu saja nau’ atau sebagai hasil dari kombinasi jins dan fashl itu berbeda.
Ya, jika khamar disandarkan kepada individunya maka khamar menjadi nau’. Alasannya, individunya memiliki hakikat yang sama. Begitu juga manusia jika disandarkan kepada individu yang hakikatnya sama. Maka dia menjadi nau’.
Kemudian, nau’ itu memiliki pembagian, yaitu; 1) Nau’ Haqîqiy. 2) Nau’ Idhâfiy.
- Nau’ Haqîqiy
Dalam kitab Mi’yâr Al-‘Ilm, nau’ haqîqiy didefinisikan dengan:
كلي يحمل على أشياء لا تختلف إلا بالعدد في جواب ما هو؟
Nau’ haqîqiy adalah kulliy atau konsep universal yang diberlakukan kepada individu yang hakikatnya sama, kecuali pada beberapa saja pada fungsi menjawab “apa itu?”
Ini sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Bisa dikatakan bahwa nau’ haqiqiy itu hanya ada di bawah jins qarîb, dan di bawah nau’ haqiqiy ini hanya individu.
Contohnya seperti kata insân atau manusia. Di atasnya hanya ada jins qarîb, yakni haiwân. Di bawahnya ada individu yang hakikatnya sama. Dia menjadi nau’ haqîqiy karena hal-hal yang membuatnya menjadi nau’ haqîqiy itu terpenuhi.
- Nau’ Idhâfiy
Dalam kitab Mi’yâr Al-‘Ilm, nau’ ini didefinisikan dengan:
كلي يحمل عليه الجنس وعلى غيره حملا ذاتيا أوليا
“Kulliy yang mencakup jins dan selain dari jins (nau’) dengan cakupan yang sifatnya esensial dan inti.”
Dengan kata lain, nau’ idhâfiy adalah kulliy yang di bawahnya ada hakikat-hakikat yang sama dan yang memiliki hakikat yang berbeda. Misalnya pada kata nâmiy. Di bawahnya ada hakikat yang berbeda, yakni haiwân dan nabât. Haiwân dan nabât itu memiliki hakikat yang berbeda. Nah, karena hakikat ini berbeda, maka yang diatasnya menjadi nau’ idhâfiy.
Tapi di sisi lain, dia menjadi jins jika disandarkan kepada yang ada di bawahnya. Artinya, nau’ idhâfiy itu di satu saat dapat menjadi nau’ dan dapat menjadi jins. Atau jika ia disandarkan kepada sesuatu yang ada di atasnya, maka dia menjadi nau’ idhâfiy.
Misalnya saja, insan. Jika dinisbatkan kepada yang ada di bawahnya, yakni individu-individu yang sama seperti Zaid, Umar, dan Hasan, maka dia menjadi nau’ haqîqiy. Tapi, jika disandarkan kepada yang ada di atasnya, yakni haiwân, maka dia menjadi nau’ idhâfiy.
Kemudian, nau’ haqîqiy dan idhâfiy lagi terbagi; nau’ haqiqiy terbagi menjadi; 1) Nau’ Munfarid. 2) Nau’ Ghair Munfarid. Sedangkan nau’ idhafiy terbagi menjadi; 1) Nau’ ‘Ali. 2) Nau’ Mutawassith. 3) Nau’ Sâfil.

– Nau’ Munfarid
Sederhananya, nau’ munfarid itu adalah nau’ yang tidak di bawah jins, tapi di bawahnya ada individu-individu. Seperti nuqtah (titik) dan ‘aql (akal).
– Nau’ Ghair Munfarid
Nau’ ghair munfarid adalah nau’ yang terletak di bawah jins dan di bawahnya ada individu. Seperti kata insan yang di bawahnya ada individu-individu seperti Umar, Zaid, Hasan, dan lain-lain.
Ini adalah pembagian nau’ haqîqiy. Adapun pembagian nau’ idhâfiy:
- Nau’ Sâfil
Nau’ sâfil adalah nau’ yang ada di bawah jins dan di bawahnya hanya ada afrâd. Misalnya lagi, kata insan di bawah kata haiwân dan di bawahnya ada individu. Nau’ ini adalah nau’ paling bawah.
- Nau’ Mutawassith
Nau’ Mutawassith adalah nau’ yang di bawah jins dan di bawahnya masih ada nau’ idhafiy. Seperti kata nâmiy, berada di bawah jins yaitu jism. Di bawahnya itu ada nau’ idhâfiy, bukan afrâd. Yakni haiwân. Jika dia dinisbatkan juga kepada haiwân, maka dia menjadi jins bagi haiwân. Nau’ ini berada di tengah-tengah.
- Nau’ ‘Âli
Nau’ ‘âli adalah nau’ yang berada di bawah jins ‘ali (jins al-ajnas) dan di bawahnya ada beberapa nau’ idhâfiy. Seperti kata jism yang ada di bawah jauhar (jins ‘âli). Dan di bawahnya ada beberapa nau’ idhâfiy, seperti jism, nâmiy, dan haiwân. Nau’ ini berada di paling atas.
Wallahu a’lam.
Footnote
[1] Ada yang mendahulukan pembahasan nau’ daripada pembahasan fashl, dengan alasan di pohon porfiri, ia bersama dengan jins. Artinya, pembahasan jins dan nau’ itu satu paket. Sedangkan pembahasan fashl didahulukan oleh sebagian orang dengan alasan nau’ tidak bisa terbentuk tanpa fashl. Fashl adalah unsur pembentuk nau’, bukan sebaliknya.
[2] Ada satu hal yang menjadi perhatian mengenai jins dan nau’ yakni tartîb atau cara menghitungnya. Jins itu dihitung dari bawah (mutashâ’id) sedangkan nau’ dihitung atau diurutkan dari bawah (mutanâzil). Mengapa demikian? Karena jika kita membayangkan sesuatu berdasarkan jins atau mencari kategorinya, maka tentu bayangan kita akan membayangkan sesuatu itu menaik. Dengan kata lain, kita akan mencari kategori, lalu ke kategorinya lagi, dan begitu seterusnya sampai ke jins ‘âli.
Seperti ketika membayangkan manusia. Ia masuk kategori apa? Tentu kita akan mencari kategorinya. Kenapa mencari kategori itu dikatakan “menaik”? Alasannya kategori itu lebih umum. Jika dipetakan dalam bentuk peta konsep, umumnya kategori itu ada di atas, sebagaimana pohon porfiri (itu termasuk peta konsep juga).
Beda dengan mencari spesia atau nau’, maka pasti dia itu menurun. Mengapa? Ketika kita membayangkan sesuatu, maka yang kita cari adalah perinciannya, dan perinciannya itu menurun. Misalnya saja kata “pergaulan”. Kata “pergaulan” itu terlalu umum dan harus diperinci, maka ketika digambar dalam peta konsep, maka dia itu menurun. Perinciannya itu terjadi ketika kita membaginya, semisal “pergaulan itu terbagi menjadi dua: pergaulan bebas dan pergaulan tidak bebas”. Maka “pergaulan bebas” dan “tidak bebas” ini, ada di bawah kata “pergaulan”. Atau dengan kata lain, keduanya merupakan individu dari kata “pergaulan”.
[3] Umumnya, ketika disebutkan “individu” atau “afrâd” ada beberapa makna yang dimaksud. Jika dalam pembahasan nau’, maka yang dimaksud adalah nau al-anwâ’ atau individunya nau’. Jika secara umum, misalnya dalam pembahasan kulliy dan juz’iy, maka yang dimaksud adalah cakupan dari kulliy. Ini tergantung seperti apa konteksnya.