Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Haruskah Kita Meniru Gaya Belajarnya Para Ulama?

Oleh Muhammad Said Anwar
24 Januari 2022
in Tulisan Umum
Haruskah Kita Meniru Gaya Belajarnya Para Ulama?
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Kalau kita melihat gaya belajar para ulama, ada yang sampai berjam-jam, kadang sampai lupa kalau dia sudah belajar berjam-jam. Imam Nawawi contohnya, dalam beberapa riwayat disebutkan kalau beliau itu kalau belajar sampai kadang tidur dalam keadaan duduk dan kalau baru bangun, langsung lanjut lagi belajar. Juga, Imam Nawawi pernah suatu kali ketika disuap makan oleh ibunya, beliau tidak merasakan makanan yang masuk dalam mulut saking lezatnya yang namanya belajar itu. Begitu juga Imam Syafi’i, kalau kita membaca Muqaddimah Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab, dijelaskan kalau beliau itu tidur hanya pada sepertiga malam. Bahkan, tidak tanggung-tanggung ada sampai memilih untuk menjomblo seumur hidupnya demi menelaah jutaan naskah buku. Itu semua dikisahkan dalam Al-‘Ulamȃ Al-‘Udzzȃb: Alladzȋna Ȃtsarȗ Al-‘Ilm ‘Ala Al-Zawȃj karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah atau buku lain beliau juga yang banyak berisi kisah inspiratif dari para ulama yang berjudul Qȋmah Al-Zamȃn ‘Inda Al-‘Ulamȃ’. Di buku itu diceritakan tentang berharganya tiap detik waktu bagi para ulama dan tiap waktu bagi ulama adalah ilmu.

Namun timbul pertanyaan, bagaimana kalau kita belajar sampai dua puluh jam, tidur dengan gaya duduk saja ala Imam Nawawi atau tidur sepertiga malam saja? Atau memilih menjomblo saja untuk belajar ala ulama? Persoalannya, bukan tentang kuantitasnya, tapi melihat apa yang dirasakan oleh para ulama itu ketika belajar. Saya pribadi pernah mencoba belajar ala Imam Nawawi di pondok dulu, mengisi malam dengan menulis di buku. Akhirnya? Saya berujung tipes dan waktu itu saya sedang menjelang berangkat ke Mesir. Itu cukup fatal saya kira. Lah, bukannya para ulama melakukan hal seperti itu sehingga mereka melahirkan banyak karya dan banyak murid? Ini perlu kita jelaskan lagi, tentunya tentang keadaan kita dan keadaan para ulama itu berbeda. Ini harus kita garisbawahi. Dan berbeda bukan berarti kita meninggalkan belajar begitu saja. Sebab, kaidahnya kalau kita tidak bisa sehebat ulama dalam belajar, bukan berarti kita tidak usah belajar.

Dari segi psikologis, para ulama sudah sampai di maqam “tak terikat waktu” dalam belajar sehingga mereka lupa kalau mereka sudah sekian jam membaca, menelaah, dan menulis. Ini yang dikenal dengan mode flow, di mana otak mendayagunakan semua kemampuannya untuk fokus terhadap suatu pekerjaan sampai lupa waktu, lupa makan. Dan untuk sampai ke mode itu diperlukan “pemanasan” bagi penggunanya, tidak pandang apakah dia adalah sosok yang profesional atau tidak. Kalau yang sudah terbiasa di sana saja butuh pemanasan atau pengantar, apalagi kita-kita yang masih pemula ini. Bukan hanya pengantar, tapi butuh tahap atau proses tertentu untuk sampai ke sana.

Untuk yang masih bingung bagaimana itu mode flow, saya bisa mengambil contoh ketika para gamer itu bermain game sampai berjam-jam dan rasanya seperti sebentar saja. Ini yang saya rasakan dulu ketika masih menjadi pecandu game. Atau jika Anda seorang wibu, itu kurang lebih seperti ketika maraton puluhan episode dalam satu hari, Anda tidak akan rasa waktu subuh, pagi, siang, sore, magrib, bahkan isya jika Anda maraton. Atau kalau Anda penonton drakor, anda tidak akan merasakan lelah walau menghabiskan delapan episode dalam sehari walaupun setiap episode itu satu jam lebih. Sebab, selain ada rasa penasaran, ada tujuan yang ingin dicapai, dan merasa nyaman dengan pekerjaan itu kan? Dan saya pribadi menyesal menggunakan kemampuan spesial manusia itu pada tempat yang salah. Bahkan saya selalu dihantui akan habisnya umur disusul karena terlambat “seriusan” dengan ilmu. “Eh, kok malah curhat?” Haha.

Kita kembali lagi, jadi ulama itu sudah sampai di mode flow, sehingga mereka tidak lelah karena waktu. Semakin membuka lembaran baru, hormon dopaminnya semakin mendorong untuk menggali lagi hal baru. Jadi belajar delapan sampai dua belas jam depan buku itu, hal yang biasa bagi pecinta ilmu, sebagaimana menonton delapan jam adalah hal biasa bagi wibu dan penonton drakor. Jadi, di sini bukan tentang seberapa banyak waktu yang dipakai, tapi seberapa berkualitas waktu itu. Bukankah kecintaan membuat duri menjadi mawar? Duduk berjam-jam bersama orang yang kita cintai itu membuat dunia seolah berhenti? Ini penting diingat sekali lagi, kuncinya adalah cinta dan pernah saya singgung dalam salah satu tulisan. Bukan tentang kuantitas waktu.

Ketika kita belum terbiasa melakukan sesuatu yang banyak lalu langsung kita paksakan, jatuhnya bukan kepada konsistensi dan cinta, tapi bisa jatuh kepada bosan, lelah, merasa tertekan bahkan menzalimi diri. Kemampuan kita membaca dengan fokus hanya dua jam, jangan dipaksa menjadi delapan jam. Yang seperti ini jatuhnya kepada menzalimi diri. Seperti di tulisan sebelumnya saya singgung kenapa kita perlu santai (bukan berarti malas-malasan dan melalaikan kewajiban, tapi memberikan hak kepada tubuh). Jadi, yang perlu kita lakukan adalah menumbuhkan cinta dalam belajar, agar kita bisa mendapatkan derajat cinta ilmu yang dirasakan oleh para ulama kita.

Naluriah manusia kita itu bisa harmoni dengan sesuatu yang sifat perlahan-lahan, sistematis. Bukan yang langsung main serempet-serempet saja. Dari segi biologis, kita tidak mungkin langsung menjadi manusia, butuh proses dari sperma sampai menjadi manusia lalu tumbuh besar dan bisa membaca. Dari segi psikologis juga, kita tidak bisa menerima sesuatu yang tiba-tiba secara total. Kita bisa belajar dari proses pengharaman khamar. Awalnya Allah berfirman kalau jangan mendekati salat kalau sedang mabuk. Setelah itu tertanam di diri kaum muslimin, turunlah lagi ayat yang manyatakan kalau dalam khamar itu lebih banyak mudharrat-nya dibanding manfaatnya. Ketika kaum muslimin yang barusan masuk Islam waktu itu sudah terbiasa mengamini kalau khamar demikian, barulah syariat mengharamkan khamar itu. Seandainya khamar itu langsung diharamkan begitu saja, maka akan terjadi penolakan yang sangat besar. Karena ketika kita menghadirkan sesuatu yang berbanding terbalik secara tiba-tiba, kita akan shock atau kaget. Dan secara psikologis, kita tidak bisa menerima sesuatu yang bertolakbelakang secara langsung, kecuali kita mulai dari memberikan jarak tertentu.

Begitu juga dalam porsi belajar, kita tidak bisa langsung main ke delapan, sepuluh jam, kalau tidak pernah lewat porsi sepuluh atau tiga puluh menit dulu. Porsi itu bisa ditambah tapi sedikit-sedikit, bukan tiba-tiba puluhan jam langsung. Imun dan mindset kita akan langsung kaget. Alih-alih merasa nikmat, tapi dapatnya malahan tertekan. Jadi, jika kita belum terbiasa dengan belajar lama, kita tidak diharuskan belajar lama. Kita hanya diharuskan belajar dan tentunya satu paket dengan cintanya. Kalau hanya bisa satu jam, maksimalkan saja satu jam itu untuk belajar, yang penting konsisten. Itu tentang porsi belajar.

BacaJuga

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Kemudian opsi “menjomblo” itu, bagaimana? Apakah kita harus menjomblo ala Imam Nawawi yang tenggelam dalam cinta terhadap ilmu? Pilihan menjomblo dan tidak sebetulnya bersifat subjektif, karena kondisi orang berbeda. Imam Nawawi itu inspirasinya hilang ketika bertemu dengan seorang wanita, makanya beliau tidak menjatuhkan pilihan ke menikah dulu. Beda dengan Imam Jalaluddin Al-Suyuthi, beliau dapat inspirasi kalau bertemu dengan wanita. Makanya tipe seperti Imam Al-Suyuthi itu dapat efek positif kalau menikah. Tapi ini tidak juga menjadi pembenaran yang mau menikah muda tapi belum mampu ya, hehe. Soalnya menikah punya pembahasan tersendiri dan punya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai jika ingin rumah tangganya aman sentosa. Saya hanya memaparkan kondisi psikologis, kalau sebetulnya orang itu berbeda-beda dan perlu disikapi dengan cara yang berbeda.

Kita, bagaimana? Itu kembali kepada keadaan kita lagi, keadaan kita itu seperti apa. Apakah kita tipe seperti Imam Nawawi atau Imam Suyuthi dan mampu menikah? Atau sebatas menggebu-gebu tapi tidak punya persiapan? Bedanya keadaan kita meniscayakan sikap yang berbeda juga. Itu juga melihat zaman kita sekarang seperti apa kan kalau tidak menikah dan bagaimana juga efek sampingnya kalau kita “terlalu cepat” menikah tanpa pertimbangan matang.

‘Ala kulli hȃl, kita perlu bijak lagi melihat kisah-kisah ulama yang sangat bergairah belajar yang berjam-jam dan menjomblo. Bisa saja kisah-kisah seperti itu ditulis untuk menunjukkan kepada kita besarnya cinta dan khidmat ulama kita terhadap ilmu sehingga kita tidak perlu meragukan keilmuan beliau-beliau, bukan agar kita menjomblo atau langsung belajar sepuluh jam atau dua puluh jam. Bisa juga pesan tersembunyi dari buku seperti itu juga tidak lain agar memotivasi kita belajar dan menambah kecintaan kita kepada ilmu dan bisa saja Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah -Rahimahullah- diam-diam mendoakan kita yang membaca kisah itu agar kita menjadi orang yang cinta ilmu kan saat beliau menuliskan bukunya kan?

Wallahu a’lam.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’
Tulisan Umum

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Oleh Dwi Amrah
26 September 2024
Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!
Tulisan Umum

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
4 Juli 2024
Nahi Mungkar, Ada Seninya!
Tulisan Umum

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Oleh Muhammad Said Anwar
21 Juni 2024
Esensi Berpikir dan Urgensinya
Tulisan Umum

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
12 Maret 2024
Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj
Tulisan Umum

Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj

Oleh Muhammad Naufal Nurdin
17 Februari 2024
Artikel Selanjutnya
Kenapa Manusia Mustahil Sempurna?

Kenapa Manusia Mustahil Sempurna?

Belajar itu Penting atau yang Penting Belajar?

Belajar itu Penting atau yang Penting Belajar?

Asas Utama Belajar

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan