Sejak kecil hingga detik ini, saya selalu mendengar ungkapan bahwa manusia itu serba kekurangan dan pasti memiliki kekurangan, sekuat apapun manusia itu berusaha berbuat baik. Orang-orang yang kita kira tidak memilliki salah, sebenarnya mereka juga memiliki salah. Salah inilah yang diidentikkan dengan kekurangan. Dengan kata lain, manusia ‒dalam hal ini‒ mustahil menjadi sempurna. Sebab, kekurangan itu berlawanan dengan kesempurnaan dan tidak mungkin bersatu. Tapi, kalau kita bertanya lebih dalam lagi, apakah kekurangan itu terbatas pada perbuatan saja? Jawabannya tidak. Kenapa? Ada beberapa alasan yang akan saya kemukakan di tulisan ini. Sebelum itu, saya akan memperjelas apa yang saya maksud ketika mengatakan “Mustahil” dan “Sempurna”.
Ketika saya mengatakan mustahil, itu tidak jauh-jauh dari pembahasan hukum akal. Singkatnya, mustahil itu mȃ lȃ yaqbaluhu al-tsubȗt (Sesuatu yang tidak menerima afirmasi). Untuk lebih memperjelas, saya akan memberikan satu contoh. Misalnya duduk dan tidak duduk. Ini dua hal yang berlawanan yang tidak mungkin terhimpun dan tidak mungkin terangkat atau dihilangkan dari opsi secara bersamaan. Jika Anda tidak duduk, maka saat itu duduk sedang ternafikan dari diri Anda. Sedangkan jika Anda duduk, maka ke-tidakduduk-an itu ternafikan dari diri Anda. Tidak mungkin Anda duduk dan tidak duduk secara bersamaan. Dan keterhimpunan antara duduk dan tidak duduk itu mustahil secara akal. Apapun yang mustahil secara akal, maka dia juga mustahil muncul di alam nyata atau realitas, bukan sebaliknya. Bukan berarti sesuatu itu mustahil secara kebiasaan, maka itu juga mustahil menurut akal. Ini jenis kemustahilan pertama yang dimaksud oleh penulis.
Adapun jenis kemustahilan yang kedua adalah mustahil secara kebiasaan, tapi mungkin secara akal. Misalnya, seluruh orang di dunia sepakat berbohong tentang sesuatu. Anggaplah, mereka sepakat berbohong bahwa tahun 2 Masehi, ada orang bernama Said dan dialah juga yang menjadi penulis di artikel ini. Mungkinkah orang di seluruh dunia mau bersepakat bohong tentang hal seperti itu? Secara kebiasaan itu mustahil. Tapi tidak secara akal. Sebab, akal masih bisa menerima jika ada orang yang “niatan” melakukan itu dan masih bisa mengiyakan jika aksi niatan itu berhasil yang akhirnya membuat seluruh orang bersepakat untuk berdusta akan hal tersebut. Kenapa mustahil secara kebiasaan? Mana ada juga orang yang senaif itu ingin membuat orang-orang untuk bersepakat akan hal seremeh itu? Di sinilah ada kaidah yang berbunyi: Mȃ tsbata fi al-khȃrij, tsabata fi al-dzihn wa lȃ ‘aks (Sesuatu yang ada di alam nyata pasti ada di akal tapi bukan berarti segala sesuatu yang ada di akal pasti ada di alam nyata juga). Sebab, hal-hal yang dimuat di akal itu kalau dikaitkan dengan kebiasaan, ada dua kategori. Pertama, dia mustahil. Kedua, dia mungkin. Sehingga ada hal-hal yang di akal itu mustahil ada di alam nyata dan ada juga yang mungkin bahkan keberadaannya benar-benar kita saksikan, seperti perangkat yang Anda gunakan untuk membaca tulisan ini. Lebih rinci tentang kemustahilan ini, akan dibahas pada tulisan yang khusus nanti, bersamaan dengan kemugkinan dan wajib secara akal juga.
Kemudian, tentang sempurna. Apa yang dimaksud dengan sempurna? Singkatnya, dia tidak dimasuki oleh kekurangan. Kekurangan seperti apa? Misalnya, dia ada setelah mengalami ketiadaan, memiliki batas waktu keberadaan, memiliki keserupaan dengan yang lain, keberadaannya bergantung dengan sesuatu yang lain, dan tidak esa. Kekurangan seperti ini disandarkan kepada dzat atau hakikat dari manusia. Sedangkan dari segi perbuatan, kesempurnaan adalah tidak melakukan perbuatan buruk atau luput melakukan perbuatan baik.
Jadi dari segi ini, kita akan melihat manusia itu mustahil sempurna dari segi dzat dan dari segi perbuatan ada dua kategori ada manusia yang mustahil mencapai derajat sempurna dalam perbuatan dan ada juga yang mungkin. Kita akan menguraikan satu demi satu permasalahan tersebut.
Kemustahilan Sempurnanya Dzat Manusia
Ketika saya menyebut “Dzat” bukan berarti yang dimaksud adalah Tuhan, tapi esensi atau hakikat dari sesuatu. Kenapa manusia mustahil untuk sempurna dari segi dzat? Karena seperti yang saya katakan tadi bahwa salah satu tolok ukur kesempurnaan adalah keberadaan yang tidak pernah mengalami ketiadaan sebelumnya. Jadi kalau ada yang memiliki keberadaan setelah mengalami ketiadaan, maka secara dzat dia tidak sempurna.
Tapi mungkin akan ada yang berkata bahwa manusia itu ada setelah mengalami ketiadaan merupakan kebiasaan (‘adiy). Tapi, bukankah ketiadaan sesuatu di alam nyata tidak menunjukkan bahwa secara akal itu mustahil? Atau dengan pertanyaan lain, apakah hanya karena mustahil secara kebiasaan otomatis secara akal? Kalau memakai kaidah yang tadi saya utarakan, tentu kita akan mengatakan tidak. Tapi, ini belum menutup kemungkinan kesempurnaan manusia dilihat dari dzatnya secara hukum kemungkinan akal. Maka cara untuk membatalkan kemungkinannya, cukup datangkan dalil atau argumen kemustahilannya.
Pertama, jika seandainya manusia sempurna secara dzat, maka ada yang akan menandingi Tuhan. Dan kesempurnaan itu tidak bisa terjadi pada dua dzat yang bersamaan, karena salah satu kesempurnaan adalah esa atau tidak memiliki saingan dan tandingan. Artinya, jika ada dua dzat yang sempurna, itu tidak bisa diterima akal. Karena akal menisayakan kesempurnaan itu sebagai sesuatu yang tidak memiliki tandingan, alias esa.
Kedua, jika seandainya ada dua dzat yang sempurna, maka ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, dua kesempurnaan itu memiliki kesetaraan yang imbang. Kemungkinan kedua, keduanya memiliki kesempurnaan pada taraf yang berbeda. Jika kita mengamini kemungkinan pertama, maka muncul lagi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, kedua kesempurnaan ini saling membutuhkan. Kemungkinan kedua, kesempurnaan ini tidak saling membutuhkan. Jika mengamini kemungkinan pertama, maka pada hakikatnya keduanya itu tidak sempurna karena terbentuk dari dua esensi yang mulanya tidak sempurna. Kenapa tidak sempurna? Karena kesempurnaannya baru bisa terpenuhi setelah bersatunya dua hal. Tentu saja ini ditolak dan mustahil secara akal. Jika kemungkinan kedua, maka kesempurnaan pertama dan kedua itu memiliki saingan dan tandingan. Ini juga mustahil, sebab kesempurnaannya mungkin mengalami kekurangan dan ini tidak diterima jika diletakkan pada konsep kesempurnaan.
Jika dikatakan kedua hal itu sempurna dan tidak memiliki kesempurnaan pada taraf yang sama, alias berbeda, maka kesempurnaan yang ada di tingkatan lebih rendah pada hakikatnya tidak sempurna karena masih ada di atasnya. Maka di sini, tidak mungkin ada dua kesempurnaan disebabkan mustahil secara akal dan harus ada satu kesempurnaan.
Ketiga, melihat dari dua argumen di atas, maka bisa dinyatakan bahwa manusia itu mustahil untuk sempurna secara dzat, karena kesempurnaan itu hanya dimiliki oleh Tuhan. Selain itu, kesempurnaan Tuhan dibahas secara khusus dalam ilmu akidah pada pembahasan sifat-sifat wajib, tentunya dengan argumentasi yang kokoh. Selain itu, konsep “manusia” yang kita terima itu meniscayakan dia sebagai entitas yang ada setelah mengalami ketiadaan dan secara otomatis meniscayakan manusia itu memiliki kekurangan.
Kesimpulannya: Manusia mustahil sempurna secara dzat.
Kemustahilan Kesempurnaan Manusia dari Segi Perbuatannya
Saya ingin menegaskan kembali bahwa kemustahilan yang dimaksud di sini adalah kemustahilan secara kebiasaan, bukan secara akal. Kemudian kesempurnaan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak buruk dan tidak luput dari perbuatan baik.
Manusia, menurut hukum kebiasaan, dia itu mustahil untuk sampai kepada kesempurnaan dari segi perbuatan. Sebab, manusia itu pernah berbuat buruk dan pernah luput dari kebaikan. Namun, perlu diingat bahwa perbuatan itu ada tiga jenis. Pertama, dia bersifat verbal. Kedua, non-verbal. Bagian kedua ini terbagi lagi menjadi dua. Pertama, perbuatan fisik. Kedua, perbuatan hati. Ketika manusia luput dari perbuatan baik dari salah satu saja kategori ini, maka dia sedang luput dari perbuatan dan saat itulah dia tidak sempurna secara perbuatan.
Buktinya, kita pernah berkata buruk, mengatakan sesuatu yang menyayat hati orang lain, melakukan perbuatan yang melanggar etika, syariat, dan aturan. Dalam hati, kita pernah membenci, merasa hebat, merasa berjasa, memiliki dendam, dan perbuatan buruk lainnya. Selain kita sudah pernah luput dari perbuatan baik, kita juga pernah melakukan perbuatan buruk.
Selain itu, kemustahilan ini juga mencakup kemustahilan akan kesempurnaan kemampuan. Kemustahilan ini, masuk dalam kemustahilan secara akal. Dalam artian, memang manusia memiliki kemampuan yang sempurna. Kita melihat, ada manusia yang jago dalam satu bidang tapi tidak jago pada bidang yang lain. Ini disebut dengan dalȋl musyȃhadah atau argumen empiris. Ini sekali lagi, membuktikan kemustahilan kesempurnaan manusia dari segi kemampuan.
Kesimpulannya: Manusia mustahil sempurna dari segi perbuatan dan kemampuan.
Di sini kita semua bisa sadar ‒sekali lagi‒ bahwa kita adalah manusia yang sebenarnya memiliki kekurangan yang niscaya. Sangat tidak layak kalau kita sombong, merasa seolah tidak memiliki kekurangan. Kita hidup sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, saling menutupi dari kekurangan, bukan sebagai makhluk yang saling membuka cacat.
Wallahu a’lam.


