Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Menjadi Pembaca dan Penulis: From Zero to Hero

Oleh Muhammad Said Anwar
11 Maret 2022
in Tulisan Umum
Menjadi Pembaca dan Penulis: From Zero to Hero
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Ada salah satu tulisan yang membahas tentang isi buku Muhammad Nuruddin dan tulisan itu saya tulis dengan penuh semangat sampai semangat itu membuat saya lupa tidur karena menunda-nunda tidur. Kemarin, saya sudah mendengar kisah yang begitu inspiratif dari seorang Muhammad Nuruddin sampai saya pernah membuat satu tulisan khusus yang terinspirasi dari bukunya yang berjudul Panduan Praktis Agar Kita Gila Membaca dan Menulis. Di tulisan ini, saya juga ingin berbagi kisah bagaimana saya bisa suka membaca dan menulis, sedangkan saya adalah orang yang pernah sangat anti dari kedua profesi ini dan pernah menjadi gamer fanatik garis keras yang tentunya anti membaca dan menulis.

Dark Age

Sewaktu saya masih SD, saya sudah kenal duluan game dan dunia komputer. Saya sudah terbiasa dengan yang namanya cursor, folder, coding, dan lain sebagainya. Bahkan pernah ada game yang saya buatkan file khusus yang menumpulkan kode-kode rahasia dari satu game legendaris sedunia: Plants vs Zombies. Itu saya tulis semua sampai sisi terdalam game itu, membuka level yang tidak pernah dilihat khalayak. Kalau tulisan acak-acakan rasa tutorial disebut karya, mungkin itu adalah karya pertama saya yang hilang ditelan bumi. Namun, ada hikmah yang saya dapatkan. Sejak saat itu saya menguasai Microsoft Excel (karena saya pertama kali menulis di Microsoft Excel, bukan Microsoft Word). Tapi, anehnya di saat saya menulis itu ada rasa enak tersendiri, walaupun saya selalu bilang kalau saya tidak suka menulis.

Di sini, saya belum memiliki setitik pun minat baca. Hatta untuk buku tipis pun, saya seperti mau menghindar ketika melihat buku itu. Cinta saya waktu itu masih ada di dunia game dan komputer. Titik. Saking cintanya saya dengan makhluk yang bernama game itu, saya sampai pernah bermain game dari pulang sekolah yang waktu itu jam 10 pagi, sampai jam 8 malam. Ayah dan ibu bilang saya sudah capek pasti, tapi saya hanya merasakan sebaliknya, seolah semuanya baru permulaan. Saya seolah lupa kalau waktu itu ada.

Walaupun masa itu kelam, ada yang patut saya syukuri, saya bisa mengungguli semua teman-teman saya dalam dunia komputer. Sampai saya pernah diberikan sebuah laptop yang umurnya lebih tua daripada saya, masih menggunakan Windows 98. Jangankan buka file berat, untuk membuka folder saja, itu sampai ngelag minta ampun. Namun, meskipun begitu, dari laptop ini saya terlatih bersabar kalau menghadapi yang lag-lag kayak gitu, bahkan proses apapun. Selain itu, saya bisa menguasai sistem dan membobol keamanan password yang ada di Windows itu.

Masih di fase yang sama, ayah saya membeli laptop yang mungkin pertama. Itu mereknya Acer. Itu juga karena ayah saya itu kerjanya memang harus pakai laptop. Laptop ini sudah sangat bagus pada masanya. Namun sudah tidak relevan di masa sekarang untuk buka yang berat-berat. Umur laptop itu mungkin beda beberapa tahun dengan saya, mungkin sekitar 3-5 tahunlah. Laptop itu juga ternyata asik dipake main game. Ada banyak game juga yang saya khatamkan di sana. Tapi, laptop itu juga sempat saya bawa ke Mesir dan sempat menyaksikan saya menyusun awal buku yang benar-benar buku dalam bentuk digital. Sekarang kondisinya sudah buruk, makanya saya tidak pakai menulis lagi.

Masuk pada usia SMP, saya selalu saja mendapat tugas menulis, menulis, dan menulis. Di sini kebencian saya dengan menulis semakin kental. Saya tidak mendapatkan apa-apa dari menulis itu. Mungkin kalau saya kembali ke keadaan itu, saya akan tertawa membayangkan kalau ternyata di masa depan saya adalah penulis, sebab kalau pakai pikiran waktu bocah seperti itu, tentu ini hal yang sangat-sangat mustahil.

Di masa ini, ayah saya membeli laptop lagi. Ini juga laptop yang sudah lumayan bagus pada masanya. Melalui laptop itu, saya memiliki skill yang langka dimiliki oleh gamer profesional lain, yaitu menggunakan sniper tanpa scope di dunia First Person Shooter (FPS). Ada banyak gamer yang hebat di lingkungan saya yang benar-benar mengakui skill itu. Laptop ini yang mungkin di akhirat banyak-banyak hisabnya, karena laptop inilah yang menjadi saksi saya sebagai seorang gamers, penulis, dan editor. Ini juga dikirimkan ke Mesir melalui junior saya. Laptop ini juga yang saya sekarang pakai menulis.

BacaJuga

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Waktu padat-padatnya tugas dan saya semakin candu main game, akhirnya saya memilih ikhtiar menyelesaikan tugas dulu yang semuanya menulis. Keanehan lagi terjadi, sebenci-bencinya saya dengan menulis, saya merasakan nikmat yang mirip dengan ketika saya main game. Itu masih ketika menulis dalam bentuk menyalin buku. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu.

Permulaan Renaissance

Kemudian, masuk fase SMA, saya bertemu dengan seorang kiyai yang benar-benar merubah hidup saya, beliau adalah Ust. Hamzah Ki Baderan. Beliau adalah salah satu murid Syekh Ali Jum’ah dan pimpinan asrama. Saya melihat beliau sebagai sosok pendiam, tenang, dan gerak-geriknya bisa memberi dampak ke murid-muridnya. Karena pengaruhnya, saya sampai membuatkan istilah khusus dalam tulisan-tulisan saya, yakni “Sang Guru”. Sebelum saya masuk asrama, ayah saya bilang begini “Tidak cukup 6 bulan, pembicaraanmu akan berubah membahas seputar ilmu saja”. Saya tidak percaya apa yang diucapkan ayah saya. Mana mungkin gamer, penonton anime (wibu, kalau istilahnya netizen) garis keras plus ekstrim bisa demikian. Saya merasa kokoh dengan pendirian saya.

Masuklah saya ke asrama itu. Saya bertemu dengan orang-orang dari berbagai tempat dan di sana ada sepupu saya juga. Ini mungkin jadi keunikan yang saya miliki, sejak SD sampai kuliah pun, sepupu saya selalu ada. Yang pasti ada larangan membawa handphone karena potensinya untuk merusak sangat besar. Setiap magrib dan shubuh ada pengajian dan ini mulai mempengaruhi saya. Ada juga senior-senior yang himmahnya kepada ilmu itu berkumpul di sana. Saya mencontohi senior-senior yang memiliki himmah itu.

Dalam salah satu pengajian, dibukalah kitab Mukhtashar Minhâj Al-Qâshidîn, karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Yang membawakan pengajian itu adalah kiyai saya itu lagi. Beliau kalau memotivasi soal ilmu, itu tidak main-main, seolah membawa kami ke dunia lain. Saya bisa merasakan nikmatnya ilmu, walau masih sepercik saja. Kalau kata orang di daerah saya, “Racci’-Racci’naji”. Puncaknya, ketika beliau mengajar ushul fikih di kelas, ada satu bagian yang mempengaruhi sejarah hidup saya, yaitu pada pembahasan sejarah ushul fikih.

Di sana beliau bercerita tentang Imam Nawawi yang umurnya hanya 40 tahun, tapi seakan hidup ribuan tahun karena karyanya. “Coba lihat para ulama dulu” Begitu khas beliau ketika memulai ceritanya “Imam Syafi’i, Imam ini dan itu kalau kamu lihat karya-karyanya, itu sangat banyak dan tebal-tebal. Itu menunjukkan kekayaan ulama kita”. Di situ saya terdiam, ternyata orang-orang hebat yang saya kenal itu, pasti bermulazamah dengan ilmu. Saya masih berpikir sampai pulang dari asrama, “Betapa hebatnya ulama kita. Bagaimana bentuk kecerdasannya ya, sampai menulis buku seperti itu”. Sampai pada salah satu pengajian, kiyai saya bilang begini “Kalau kalian mendapatkan sesuatu yang baru di sini, nanti kalau pulang, beritahu ayah dan ibu kalian kalau kalian tidak salah masuk sekolah”. Pas saya pulang, saya beritahu orang di rumah kalau saya tidak salah masuk sekolah lagi, saya senang bisa belajar agama dengan serius.

Ucapan ayah saya itu seolah doa yang sangat mustajab, saya benar-benar merubah kebiasaan saya walau tidak seluruhnya dalam waktu yang tidak mencapai hitungan 6 bulan, hanya kisaran 3 bulan saja. Di sini saya sudah mulai terbiasa tidak main game dan menonton anime. Saya sudah mulai ada keinginan membaca, tapi belum dengan menulis. Di sini juga semangat saya belajar sudah ada.

Ada satu bagian juga yang mempengaruhi agar saya menulis, yaitu tugas menulis pada satu mata pelajaran, ilmu kalam. Buku itu adalah buku kurikulum, saya tidak tahu apa itu ilmu kalam, apa itu akidah, dan yang berkaitan dengan itu. Tapi, tugas ini tidak main-main panjangnya, harus pakai kertas HVS Folio dan pakai map. Itupun yang disalin 5 bab. Kesal saya bukan main waktu itu. Saya menganggap tugas ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, karena sepanjang apapun kalau tidak ada visi-misinya untuk memahamkan, ya tetap saja tidak masuk akal. Itu juga melihat tugas adanya pembelajaran memang harusnya untuk memahamkan. Tapi, di sela-sela seluruh bagian tugas itu, ada bagian yang mengharuskan saya menjawab dengan jawaban yang tidak pasti, menulis soal essay dan menjawab soal itu sendiri di tumpukan kertas yang sama. Otomatis saya harus memahami buku itu, alias saya “terpaksa” paham isi buku itu. Akhirnya saya jawab soal itu dengan hasil pemahaman saya dan alhamdulillah saya merasakan nikmat yang lebih dalam menulis itu.

Di antara teman-teman kelas saya, saya yang paling cepat selesai tugas itu. Sampai ada kawan pindahan baru masuk sekolah, dia tiba-tiba dihujani dengan tugas-tugas dan waktu itu sudah menjelang ujian. Akhirnya dia minta kepada saya untuk dituliskan tugas menulis itu dan bayarannya ada, melebihi uang pekanan saya. Saya terimalah. Lagi-lagi, ada rasa nikmat menyendiri di kamar sambil menulis yang belum saya rasakan. Berapa hari selesainya? Cuman 5 hari doang. Di kelas 2 SMA juga seperti itu, saya kemudian dapat banyak request dari teman-teman saya dan bayarannya juga ada. Rasanya saya seperti tukang joki tulis waktu itu, haha.

Namun, setelah saya banyak menulis, barulah saya berpikir “Apa yang saya dapat? Apa dampaknya ke depan?”. Tidak ada. Di sinilah momen saya pertama kali menulis buku dalam versi tradisional banget, pakai pulpen dan buku kosong. Saya menulis apa yang saya pahami mengenai nahwu dan sharaf di situ. Buku itu sangat tipis, hanya berkisar 40-an halaman. Komentar-komentar yang saya berikan juga ada, itu saya tempelkan kertas di samping-sampingnya kalau maklumat tambahannya kayak gini dan gitu. Saat itu, buku saya hanya sebatas rujukan bagi saya sendiri kalau di kelas sedang belajar bahasa Arab, kadang kalau ada maklumat yan tidak jelas dalam nahwu ataupun sharaf, saya bertanya kepada guru besar yang mengajarkan bahasa Arab tentang bagian yang tidak jelas dan jawabannya saya tulis di buku saya. Buku ini masih ada tersimpan di rak saya di Indonesia, saya berikan judul Al-Muyassarah, walaupun isinya 60% berbahasa Indonesia. Diberikan nama demikian, karena bahasa saya itu sangat singkat dan mudah (bagi saya, belum tentu bagi orang), haha.

Belakangan, saya tidak puas dengan yang saya tulis sebelumnya. Akhirnya saya memutuskan membeli album kosong yang tebalnya 400 halaman. Akhirnya saya menjelaskan lagi buku yang saya buat sebelumya dengan versi yang lebih rinci dan itu sudah memiliki rujukan seperti Jâmi’ Al-Durȗs, Mulakhash Qawâ’id Al-Lughah, dan beberapa buku lain ditambah jawaban dan maklumat tambahan dari guru-guru saya. Semuanya tulis tangan dan saya punya kekhususan dalam menulis itu, harus menggunakan pulpen yang tipisnya 0,5 mm. Waktu itu saya memilih pulpen HI-TEC. Buku ini saya rampungkan dalam waktu 1 tahun, itupun saya menulis dalam keadaan mencuri waktu, seperti waktu istirahat, waktu kosong, dan waktu-waktu yang tidak ada kewajiban lainnya, bahkan saya pernah jatuh tipes karena menulis sampai tengah malam. Buku ini saya beri nama Al-Risâlah. Karena di dalamnya terdapat beberapa pesan-pesan (Al-Rasâ’il) tentang nahwu dan sharaf. Hasilnya? Ada beberapa adik kelas, bahkan teman sekelas membuat cadangan buku ini dengan fotocopy. Ada juga yang menemukan buku itu di kelas (yang waktu itu belum selesai) lalu dia fotocopy. Saya merasa senang walaupun saya sadar ada ratusan bahkan ribuan kekurangan yang saya tahu dari buku itu.

Dua buku ini tidak ditulis ulang, masih utuh tersimpan di rak saya di Indonesia. Awalnya saya punya rencana untuk tulis ulang dan terbitkan, tapi saya sadar, gaya bahasa saya di sana ada banyak kurangnya, tidak memahamkan. Dan ada beberapa bagian yang jauh dari keilmiahan. Kalau saya disuruh mengkritik karya saya sendiri, mungkin akan lahir lagi buku baru. Alasan saya menulis dengan keadaan seperti itu, tentu karena keadaan saya yang berbatas aturan, dilarang bawa handphone dan laptop. Tapi itu bukan alasan untuk tidak menulis.

Bahkan untuk referensi pun saya tidak merasa terbatasi dengan aturan itu, orang tua saya tidak mikir panjang kalau uang yang saya minta itu untuk membeli buku. Kalau tidak dapat, ya saya pergi ke warung dekat asrama yang buka jasa print dan dia izinkan orang yang mencari pdf untuk didownload. Saat itu saya sudah mengenal Al-Waqfeya, situs kitab. Belum yang lain-lain. Jadi di warung itu, saya booking untuk print timbal balik dan dalam ukuran kecil, supaya hemat. Lumayan, satu lembar HVS, bisa dapat 4 halaman. Di Makassar, kota saya lahir dan besar juga waktu itu ada percetakan yang mengizinkan untuk memberikan hard cover untuk sebuah buku dengan biaya 20 ribu. Dan hasilnya 90% seperti bentuk buku asli.

Kebiasaan itu terus saya lakukan sampai tamat sekalipun dan itu untuk konsumsi pribadi. Sampai di asrama, saya bersama kakak sepupu saya punya lemari khusus buku dengan berbagai fan ilmu. Tidak jarang saya menyentuh ilmu yang di luar kesukaan saya, itu bermodalkan penasaran saja, saya menyentuh psikologi, astronomi, dan lain-lain. Motivasi itu muncul saat saya membaca buku Filsafat Islam karya Prof. Dr. Sirajuddin Zar. Saya menyaksikan pemikir-pemikir Islam dengan beragam keahlian seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Saya punya satu pikiran setelah membaca buku itu, bahwa untuk menjadi seorang muslim, bukan berarti itu menjadi alasan kita menutup mata dari ilmu-ilmu lain. Bahkan ada lagi satu buku yang sering baca sore hari di pos depan asrama yang berjudul Psikologi Belajar karya Muhibbin Syah. Di dalam bukunya ada beberapa hal yang berbau psikologi yang dia kaitkan dengan ayat Al-Qur’an. Saya akhirnya benar-benar mantap suka sama ilmu apapun saat itu. Ini juga alasan saya membuat tulisan khusus tentang pandangan saya itu.

Post-Modern

Pesantren itu benar-benar mengubah cara saya menggunakan tekonologi. Bahkan kalau saat pulang atau pakai handphone saat hari libur, itu saya sudah kebanyakan membuka hal-hal yang berkaitan dengan ilmu. Sampai sewaktu kelas 2 SMA, saya membuat ringkasan-ringkasan di buku tulis saat mendengar penjelasan Dr. Fahruddin Faiz. Saya belum menggunakan handphone dan laptop menulis saat itu karena saya belum terlalu mahir menulis di sana dengan cara yang baik. Sedangkan menulis manual, sudah saya dapatkan feel-nya.

Setelah saya tamat, saya akhirnya mendapat kebebasan, sudah bisa mencari referensi di mana saja. Tapi, saya belum menulis di laptop karena lagi-lagi saya masih nyaman dengan itu. Saya selalu membaca bukunya Prof. Dr. Amir Syarifuddin yang bertajuk Ushul Fiqih. Buku ini sangat tebal, dua jilid. Ada lagi satu buku yang juga judulnya sama, tapi menulisnya berbeda, yaitu Prof. Dr. Satria Effendi. Kebiasaan saya waktu itu, saya mengambil beberapa judul dalam buku itu lalu saya jelaskan ulang dengan bahasa saya sendiri. Ada juga beberapa yang sempat saya posting lewat Instagram kalau tidak salah. Namun, sudah saya hapus. Kenapa? Selain saya geli membaca tulisan itu, saya juga sadar itu sebuah pelanggaran dalam dunia akademik. Positifnya, ada senior yang mengapresiasi itu. Namun, tetap saja, pelanggaran ya pelanggaran. Itupun saya tidak tahu kalau tindakan seperti itu adalah kesalahan.

Sebelum saya berangkat ke Mesir, saya bertemu dengan salah satu lulusan hebatnya Sulawesi yaitu Dr. Azwar Kamaruddin -Rahimahullah-, Doktor dari Al-Azhar. Walaupun saya sudah alumni, saya selalu menyempatkan datang ke pesantren setiap hari Kamis, karena beliau mengajar Kifâyah Al-Akhyar saat itu, walaupun rumah saya itu jauhnya 14 km dari pesantren. Di sini saya mengenal banyak hal yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, bahkan kiyai yang mengajarkan ushul fikih, ikut juga belajar kepada beliau bersama murid-muridnya. Bahkan kiyai saya menyebut kalau sekali saja tidak hadir pengajian beliau, ilmunya tidak akan didengar lagi sampai hari kiamat.

Kebetulan waktu itu saya kebetulan bergabung dalam komunitas Literasi Akademik di Facebook dan WhatsApp. Ada salah satu penulis yang bernama Rudy Fachruddin yang menulis dan membagikan karyanya secara suka rela di internet yang membahas musthalahât mazhab syafi’i. Saya baca sampai habis juga dan saya lakukan hal yang sama dengan dua buku di atas. Dan saya juga sudah menghapusnya dengan alasan yang sama, geli dan melanggar.

Ketika saya tiba di Mesir, saya kemudian bertemu dengan bukunya Muhammad Nuruddin yang bahasanya enak ditiru. Saya kemudian menyiapkan beberapa buku lalu membuat oplosan gitu, lalu saya buat tulisan-tulisannya di note handphone saya. Saya tidak buat persis dengan bahasa buku itu, tapi data-datanya berasal dari sana. Akhirnya saya menyebarkan tulisan itu lewat WhatsApp lalu saya sebarin lewat grup-grup. Tapi karena melihat WhatsApp punya jangkauan yang terbatas dan tidak bisa dicari ulang, maka saya tidak menggunakan WhatsApp lagi untuk menulis. Kemudian, saya mencoba menulis di Wattpad, waktu itu membuat cerbung. Itu ada sekitaran belasan episode, saya lupa persisnya berapa. Namun karena beberapa aturan di Wattpad, misalnya tidak boleh menulis di tempat berbeda, saya tinggalkan juga. Begitu juga Telegram dan Blog versi lite. Saya tinggalkan semua itu sampai tersisa dua, yaitu Facebook dan Website.

Di Facebook, saya kemudian memiliki tiga Fanspage, yaitu Ruang Intelektual, Ilmu Logika, dan satunya bersifat private, tempat saya menuliskan sesuatu secara anonim. Ruang Intelektual itu bagian sosial media dari komunitas yang saya dirikan (ini punya sejarah sendiri yang cukup panjang juga), Ruang Intelektual namanya dan website ini bagian pentingnya juga. Ilmu Logika itu tempat saya menuliskan hasil bacaan dan dars saya di para guru-guru dan rencananya saya mau jadikan itu sebagai buku tersendiri. Dan satunya lagi adalah tempat saya menulis secara anonim. Saya sisakan Facebook dan Website karena tulisannya bisa dicari ulang dan berefek sepanjang waktu.

Di Mesir, saya berjumpa dengan karya-karya ulama yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, betapa banyaknya harta karun yang saya temukan. Saya akhirnya mulai mewujudkan impian saya sewaktu SMA perlahan-lahan, yaitu membuat perpustakaan pribadi. Memang di Indonesia kakek saya punya perpustakaan, tapi buku-bukunya kebanyakan hadis, melihat kakek saya memang kepakarannya ada di hadis. Saya tidak puas dengan itu, akhirnya saya buat aturan sendiri, di mana ada uang belanja 30% adalah haknya buku, itupun ada lagi kelompok-kelompoknya, ada untuk akidah, filsafat, mantik, sejarah, tarjamah, dan lain-lain. Dan alhamdulillah, walau tidak terlalu banyak, saya sudah mulai senang, setidaknya sudah membuat rak 7 lantai nan lebar itu sesak nafas, haha. Makanya saya beli lagi rak 6 lantai sebagai solusi. Mungkin kalau orang rumah saya membaca bagian ini, mereka akan tepok jidat. Tapi, saya selalu berandai-andai, seandainya saya seorang milyarder, saya akan bawa pulang semua buku-buku yang ada di Cairo Book Fair beserta buku-buku lain.

Kendala

Beberapa waktu selama di Mesir, saya memiliki kendala dalam menulis, yaitu keterbatasan alat. Saya hanya merasa nyaman kalau menulis di laptop, karena saya sudah dapat feel-nya di masa ini, mengalahkan feel-nya handphone. Belum lagi, handphone saya sudah sesak dan sudah tidak bisa diajak komromi dalam menulis, akhirnya saya meninggalkan 372 tulisan (termasuk tulisan mentah yang butuh pengembangan khusus) di sana dan nanti akan saya revitalisasi kemudian hari. Laptop rusak, handphone rewel, akhirnya saya menumpang saja di laptop senior, laptop teman, buat menulis. Saya meminta ke orang tua agar dikirimin laptop yang bisa dipakai menulis dan editing (ini karena saya baru mengembangkan skill baru, yaitu editing.

Sementara menunggu, saya sudah menyelesaikan satu buku guide yang tipis, hanya 45 halaman. Buku itu saya tulis sebagai ekspresi kesenangan saya akan ulang tahun Al-Azhar dan selesai pas 7 Ramadhan, ulang tahun Al-Azhar. Buku itu berisi tentang 100 pertanyaan umum tentang Mesir dan Al-Azhar, judulnya Tanya Jawab Seputar Mesir & Al-Azhar, juga ada satu makalah yang saya tulis dan sangat berkesan di hidup saya, yaitu Konsep Ittihâd dan Hulȗl Menurut Said Aqil Siradj.

Di fase ini, saya merasa “terhalang” untuk bahagia dalam menulis itu. Belum lagi kalau mereka yang punya laptop ternyata ingin pakai juga, tentu sebagai tukang pinjam ini hanya bisa mengalah saja.

Plot Twist

Sewaktu saya punya jadwal di FK-Baiquni untuk menulis membawa materi, saya kagetlah. Saya tiba-tiba dikasi jadwal persis setelah jadwal itu tersusun. Malam itu juga, saya tertuju dengan buku Muhammad Nuruddin dan Said Aqil Siradj yang ada di rak saja. “Ini adalah sesuatu yang kurang orang tahu, mungkin ini bagus saya angkat”. Tapi, saya tidak punya gambaran tentang cara membuat makalah. Dalam waktu sepekan yang amat terbatas itu, saya terpaksa membatasi waktu keluar rumah, waktu istirahat, bahkan makan saya batasi agar tidak ngantuk. Pokoknya, selalu ketika saya bangun dari tidur, yang pertama saya pikir bagaimana caranya membuat makalah itu.

Saya pun mencoba segala cara agar tahu, menghubungi kakak sepupu di Indonesia yang sudah S2, mencari di Youtube, dan satu buku yang membahas metode penelitian karya Prof. Dr. Sugiyono. Dengan segala arahan yang saya dapatkan, saya pun mendapatkan satu format kepenulisan dan format susunan karya yang saya kira itu susunan makalah. Saya kerjalah dengan polos. Belum lagi data-data yang saya perlukan ternyata kurang yang mengharuskan saya melahap banyak buku saat itu, mulai dari disertasi asli Said Aqil Siradj, sampai karya-karya ulama Al-Azhar seperti Syekh Abdul Halim Mahmud, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, dan lain-lain. Tapi, alhamdulillahnya saya mendapat kemudahan memahami materi berat itu.

Di sela-sela pengerjaan, saya merasa aneh juga, soalnya “Kok ini panjang banget? Kenapa gak seperti makalah pada umumnya ya?” sampai akhirnya selesai 32 halaman dan saya pun periksa di kakak sepupu saya. Ada banyak bagian yang kena corat-coret merah ala kampus Indonesia. Mulai A sampai Z dibabat habis. Tapi ujung-ujungnya kelihatan bagus, mirip dengan file yang biasa saya download. Karena waktu itu saya periksanya pakai screenshoot, saya pun akhirnya kirimkan versi filenya saja. Dia kemudian bertanya yang kurang lebih bilang kok kamu menyusun skripsi? Saya pun heran, “Bukannya saya menyusun makalah? Soalnya yang saya dapat dari Google seperti ini kok”. Tapi apa boleh buat, sudah terlanjur selesai, haha. Tulisan itu kemudian menuai komentar yang tidak pernah saya duga dari senior yang jauh dari saya di kajian itu “Selama saya di sini, saya belum dapatkan makalah sebagus ini. Ini makalah yang paling bagus yang pernah saya dapatkan di sini”, walaupun ada banyak kekurangan karena waktu sudah mepet banget.

Lingkungan

Saya sangat percaya apa yang diungkapkan Muhammad Nuruddin kemarin, bahwa lingkungan itu punya pengaruh besar. Jangankan perilaku, bahkan agama pun dipengaruhi lingkungan. Ada juga ungkapan unik yang dilontarkannya, yaitu “Ketika sudah menjadi malakah, maka walaupun hidup di tengah tempat yang tidak mendukung pun, bisa bertahan”. Kalau saya punya ungkapan lain dalam salah satu video saya, yaitu lingkungan bisa diciptakan. Lingkungan yang dimaksud adalah yang ada dalam diri.

Yang mana itu lingkungan? Kata Muhammad Nuruddin, apa yang diihat, apa yang menjadi keseharian kita. Saya sepakat dengan itu, alasannya saya sendiri rasakan. Bahkan ayah saya menyebut kalau saya itu punya kehidupan sendiri di internet. Kalau mau jujur, saya menjadi penulis di tengah-tengah orang yang kurang minat menulis dan menjadi pembaca di tengah-tengah orang yang kurang membaca. Tapi, lingkungan media sosial saya dipenuhi oleh penulis. Ketika saya membaca, saya bergaul dengan para penulis secara tidak langsung. Saya juga menganggap lingkungan di mana saya menaruh perhatian itu. Kalau menaruhnya di ilmu, saya merasa lingkungan saya seperti itu. Termasuk perhatian kepada penyampaian para ulama. Inilah yang membuat saya terus menulis, walaupun lingkungan itu banyak yang tidak cocok dengan kebiasaan saya bahkan berpotensi besar merusak hobi saya ini.

‘Ala kulli hâl, alhamdulillah saya juga masih diberikan oleh Allah keistiqomahan dalam menjalani hobi ini, walau sebelumnya saya pernah di posisi yang berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Sampai detik ini, yang ada di sekitar saya tidak melunturkan tekad saya untuk menyelesaikan buku pertama yang akan saya terbitkan nanti, insya Allah. Kurang lebih demikian, kisah pribadi yang saya ingin bagikan mengenai membaca dan menulis. Dan saya sangat berterima kasih kepada Muhammad Nuruddin sekali lagi yang memantik saya untuk membagikan kisah yang nyaris terkubur ini dengan kisahnya juga. Semoga apa yang dikisahkan oleh Muhammad Nuruddin dan saya bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian. Sekian, terima kasih.

Wallahu a’lam.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’
Tulisan Umum

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Oleh Dwi Amrah
26 September 2024
Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!
Tulisan Umum

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
4 Juli 2024
Nahi Mungkar, Ada Seninya!
Tulisan Umum

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Oleh Muhammad Said Anwar
21 Juni 2024
Esensi Berpikir dan Urgensinya
Tulisan Umum

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
12 Maret 2024
Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj
Tulisan Umum

Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj

Oleh Muhammad Naufal Nurdin
17 Februari 2024
Artikel Selanjutnya
Penjelasan Kitab Matan Al-Jurumiyyah (Bagian 2)

Penjelasan Kitab Matan Al-Jurumiyyah (Bagian 2)

Hadits Al-Arba’in Al-Nawawiyyah (Bagian 1)

Hadits Al-Arba'in Al-Nawawiyyah (Bagian 1)

Hadits Al-Arba'in Al-Nawawiyyah (Bagian 2)

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan