Ada ungkapan guru saya yang terekam dengan baik di kepala saya “Al-ta’allum bi al-kaif la bi al-kam” (Belajar itu mestinya memperhatikan kualitas, bukan “lama” doang). Ini sering saya temukan di tengah masyarakat, ada yang belajar sampai sembilan tahun tapi belum tahu mau apa dan untuk apa nantinya dia belajar? Karir pun masih kosong. Padahal karir itulah bentuk aktualisasi skill yang selama ini kita miliki. Bahkan kalau mau jujur, ada yang sekolah sampai 12 tahun tapi belum menemukan “dirinya” kan? Akhirnya dia seperti exoplanet yang melayang-layang di angkasa lepas tanpa tujuan.
Ada satu hal yang perlu saya tekankan bahwa ketika belajar, selain syarat-syarat yang pernah saya sebutkan dalam salah satu tulisan, adalah harus tahu kenapa dia belajar? Untuk apa dia belajar? Dan seperti apa cara dia belajar? Ini kurang lebih aspek yang amat fundamental yang harus diketahui oleh mereka-mereka yang mau belajar. Kenapa? Kalau orang melakukan sesuatu tanpa dia ketahui kenapa dia musti melakukan itu, secara psikologis juga sebenarnya dia tidak respect dengan yang dia lakukan. Dia melakukan sesuatu yang sebenarnya dia sendiri tidak tahu. Akibatnya, dia itu menjadi orang yang “bodo amat” dengan belajarnya yang harusnya dia utamakan dari sekian banyaknya aktivitas.
Kemudian “Untuk apa” ini termasuk hal yang penting juga. Sebab, kalau orang melakukan sesuatu (apapun itu) lalu itu tanpa tujuan, maka dia tidak akan memiliki motivasi untuk belajar. Kadang terlihat jelas bagi yang “asal-asalan” memilih sekolah, kuliah, jurusan, bahkan gaya hidup yang merupakan sektor yang sangat-sangat penting bagi kita. Bahkan belajarnya itu seakan menjadi sampingan saja, ingin cepat-cepat selesai. Dia tidak dapatkan feel belajarnya. Juga belajar bagi dia tidak lebih dari sekedar formalitas saja. Kalau belajarnya 12 tahun, maka dia buang-buang waktunya 12 tahun untuk kepalsuan semata, dia hanya membohongi dirinya saja selama itu juga. Makanya “Untuk apa” ini sangat penting. Selain mendapatkan motivasi, juga mendapatkan tujuan, visi, dan misinya dalam belajar apa. Sebab, sebagai manusia, kita semua memiliki kewajiban yang tidak tertulis: khidmat, baik kepada negara, agama, dan bangsa.
Tentang tujuan belajar, sebenarnya memiliki uraian yang “lebih”. Kalau Anda tanya orang-orang berhasil dan sukses itu, mereka sudah memiliki tujuannya dengan cara yang terstruktur. Bahkan ada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Gail Matthews dari Dominican University of California yang secara khusus mengumpulkan 270 partisipan untuk mencari tahu akumulasi kemungkinan tercapainya tujuan itu dengan cara ditulis. Hasilnya, ada kemungkinan 42% tercapainya tujuan. Pada tahun 2018 juga, Peter Economy melaporkan riset bahwa menulis tidak hanya membuat kita menjelaskan tujuan kita secara detail, tapi juga memotivasi kita agar kita melakukan apa yang kita rencanakan.
Artinya, orang yang memiliki tujuan sampai menuliskan saja belum tentu bisa memenuhi itu, apalagi yang sudah tidak memiliki tujuan hidup. Saya sendiri sudah bertanya ke beberapa orang terkait apa bakatnya, apa keahliannya, apa kespesialan yang dia miliki dibandingkan oleh orang lain. Hasilnya? Hanya sedikit yang bisa menjawab secara detail dan lebih sedikit lagi yang memiliki tatanan hidup yang benar-benar rapi sampai ke depannya. Sedangkan mereka yang tidak mengenal dirinya, tidak memiliki tujuan itu, mereka tidak tahu harus apa. Berarti, untuk mengetahui tujuan hidup itu dimulai dari mengenal diri, mulai menerima kelebihan dan kekurangan diri, terbuka, dan jujur kepada diri. Dari hal-hal sederhana ini, sebenarnya orang sudah bisa membangun hidupnya seperti apa. Ini tidak hanya tentang tujuan belajar saja, tapi lebih dari itu dan tetap mencakup tujuan belajar.
Bagaimana jika tujuan itu tidak ada? Coba saja Anda keluar ke depan rumah dan mondar-mandir saja. Kalau Anda berpikir kalau tindakan itu adalah hal yang konyol, ya seperti itulah konyolnya perbuatan kita kalau tidak jelas tujuannya. Walaupun namanya “belajar”, kalau tidak ada tujuannya, maka belajar itu hanya menjadi beban dan pengganggu dalam hidup. Coba misalnya jika Anda main game dan Anda punya tujuan jelas, gear apa yang ingin dibeli, skill apa yang harus di-unlock, dan sampai level berapa. Hasilnya, Anda tidak menganggap itu beban, bahkan bisa-bisa tenggelam di sana. Beda kalau misalnya Anda menyadari kalau tujuan yang ada di game itu tidak lebih dari fatamorgana dan utopis, kemungkinan besar Anda akan berhenti. Dan saya berhenti dari profesi gamer itu karena saya sadar kalau itu tidak realistis dan utopis. Main ya main, hanya kalau sudah ada di titik ke-gabut-an paling rendah. Bukan saat-saat saya bisa menulis.
Selain itu, keterkaitan “Untuk apa” dan “Kenapa” itu sangat erat, tidak terpisahkan. Kalau Anda berhasil menjawab dua pertanyaan besar itu, maka Anda sudah lulus di tahap pertama, yaitu “Konsep yang Jelas”. Sebab, aksi yang terstruktur berangkat dari konsep yang terstruktur.
Tahap kedua ini tidak kalah penting, yakni ketika menanyakan “Bagaimana”. Sebab ini sangat menentukan kualitas dan mutu tindakan Anda. Misalnya, Anda mau ke Makassar dari Jakarta. Anda sudah memiliki alasan dan tujuan yang jelas. Tapi, cara Anda menempuh perjalanan itu hanya jalan kaki dan berenang. Alih-alih membuat perjalanan Anda itu lancar, malahan cara itu menjadi hambatan. Begitu juga ketika Anda memiliki ide tapi bermasalah di tahap eksekusi. Itu bisa membuat sad ending, ide itu hanya terperangkap di pikiran, tidak jadi muncul di alam realita, ibarat asap yang awal mulanya kasat mata lalu melayang sampai hilang dan dilupakan.
Belajar juga butuh metode yang efektif. Supaya waktu itu tidak terbuang untuk hal-hal yang tidak berkualitas. Belajar itu tidak perlu sampai full day. Tapi belajar memiliki tuntutannya sendiri, yaitu membuat pelajar itu memiliki hidup yang lebih baik dan berkualitas. Percuma belajar berjam-jam kalau di sana jadi tertekan. Setengah jam sampai dua jam itu bisa menjadi efektif jika Anda maksimal di sana. Dan waktu sesingkat itu jika dilakukan dengan konsisten sudah bisa merubah pola hidup Anda. Juga menemukan metode belajar itu bukan hal yang mudah, sebab untuk mengetahui metode seperti apa yang cocok bagi Anda itu harus banyak mencoba. Bagaimana kita tahu kalau tidak mencoba kan? Apalagi sisi kompatibilitasnya itu dengan diri Anda, bukan orang lain.
Waktu 12 tahun itu bisa membuat orang menjadi serba bisa dan membuka tiga keahlian. Kalau dalam kurun itu masih “gitu-gitu aja”, berarti ada yang bermasalah di antara tiga pilar ini. Untuk menemukan tiga pilar dalam belajar Anda itu tidak sesederhana yang dikira. Kadang-kadang kita perlu ke psikolog untuk mendiagnosa diri kita itu seperti apa. Jangan kira ke psikolog itu hanya terbatas bagi orang yang bermasalah jiwanya, tapi semua yang ada kaitannya dengan kejiwaan secara universal. Tapi, umumnya orang menemukan cara belajarnya di sana. Tentang alasan dan tujuan, itu kita sendiri yang temukan. Sebab, kita tahu dan kita yang mengalami apa saja yang ada di sekitar dan apa saja yang mempengaruhi pemikiran kita. Selain itu, alasan dan tujuan merupakan bagian dari kebebasan kita dalam memilih.
Saya pribadi menemukan alasan dan tujuan itu setelah melakukan pencarian bertahun-tahun. Walaupun pertanyaannya hanya tiga dan sangat sederhana, kenapa, untuk apa, dan bagaimana cara belajar tapi menjawabnya butuh waktu lama. Ketika kita sudah menemukan jawabannya, saat itulah hidup kita berubah menjadi semakin berkualitas, karena kita sudah mengetahui apa yang harus kita lakukan. Setidaknya, kita tidak menjadi manusia yang nganggur, tidak ada partisipasinya dalam memajukan peradaban di Bumi ini.
Wallahu a’lam.